Selasa, 09 Desember 2008

Halo...

Lama tak bersua. Maaf lama tak memberi kabar pada Anda. Apa kabar? Akhir-akhir ini saya dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang kurang nyaman akan mendekatnya tenggat waktu pengumpulan skripsi saya. Ada begitu banyak hal yang masih belum saya selesaikan. Semoga Tuhan mengasihani saya dan menguatkan saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Tentu saja bila Tuhan tidak berkeberatan. Toh hanya rencana Beliau lah yang harus jadi: bukan rencana saya.

Setelah saya menyelesaikan kelas terakhir saya Jumat lalu, saya masuk ke masa minggu tenang. Minggu depan, ujian akhir semester terakhir menanti. Lagi-lagi, bukan itu kekhawatiran saya yang utama. Tenggat waktu skripsi lah yang sekarang menjadi momok.

Praktis, segera setelah UAS nanti, urusan saya dengan universitas tinggal skripsi dan wisuda. Lain-lain dari itu tidak. Kalau ditanya apa perasaan saya? Saya merasa senang. Akhirnya saya bisa melewati pendidikan sejauh ini. Entah akan saya teruskan atau tidak (saya masih berharap akan meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi). Yang jelas, selama lima belas setengah tahun saya sudah bersekolah tanpa henti. Jadi, boleh lah saya berkerja dan menikmati dunia yang sama sekali berbeda dari dunia saya selama ini.

Yang paling lucu dari menyelesaikan kelas terakhir saya adalah perasaan bingung. Bingung akan apa selanjutnya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya tidak punya kepastian akan melanjutkan hidup di institusi mana. Seperti kebanyakan anak kelas menengah seperti saya, seumur hidup, kami menghabiskan waktu di institusi-institusi pendidikan formal. Saya sendiri beruntung selalu memiliki kepastian akan institusi selanjutnya bahkan sebelum saya lulus dari institusi sebelumnya (sudah diterima di Sekolah Dasar saat belum lulus TK, dan seterusnya). Sekarang, di ujung masa studi saya di universitas, saya tidak memiliki institusi pasti untuk meneruskan kegiatan belajar. Maka bingung lah saya.

Sebenarnya, saya sudah memastikan diri untuk bekerja. Namun, bekerja kali ini sebenarnya bukan untuk kerja. Artinya, pekerjaan saya kali ini saya gunakan untuk menimba ilmu. Selain sebagai prasyarat dalam memasuki universitas pilihan saya, pengalama kerja yang relevan tentu akan sedikit banyak membuka wawasan saya akan apa yang akan saya pelajari.

Bicara tentang pembukaan wawasan, saya teringat akan jasa guru saya sewaktu di SMA. Sang guru merupakan orang yang bersahaja dan sangat memperhatikan pendidikan. Senang membaca, dan takut bila tidak ditanya oleh murid-muridnya. Beliau seringkali berseberangpandangan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah atas pendidikan dan sistem pendidikan di Indonesia. Tak jarang, saya sendiri memiliki pandangan yang berseberangan dengan Beliau. Atas jasa Beliau lah wawasan saya terbuka. Tidak pernah sebelumnya, saya memandang guru sebagai mitra. Selalu, guru bagi saya adalah dewa mahatahu yang tidak boleh digangg gugat pendapat dan ajarannya. Tapi guru yang satu ini lain.

Beliau selalu berkata, (dan saya mengutip) "Tanya lah, Sosodara!" Warna suaranya yang bak penyiar radio Sonora tersebut menyeberangi seisi kelas. "Gemuk saya, Sosodara, bila Anda tidak bertanya!" Lantas Beliau pun meneruskan dengan lembut, "Sosodara, orang tua Anda sekalian sudah bersusah payah mencari uang demi membiayai pendidikan Anda yang mahal ini. Jadi tolong, Sosodara, jangan biarkan kami (baca: para guru) makan gaji buta."

Terhenyaklah saya kala pertama kali mendengarkan seruan yang akan Beliau dengungkan tiap kali ada kesempatan. Betapa sempit pandangan saya akan guru-guru saya sebelumnya. Mulai dari saat itu, secara berkala, saya mulai mengubah cara pandang saya akan guru-guru saya. Oleh karenanya, bila ada di antara Para Pembaca Budiman yang menjadi dosen dan selalu terganggu dengan mahasiswa cerewet (baca: Yosua Mahardika Putra), salahkan lah guru saya.

Dengungan si Ibu begitu lekat dengan telinga anak-anaknya, sampai tak heran bila guru-guru baru harus tahan mental bila hendak masuk ke kelas-kelas kami. Akan habis lah guru-guru itu dimangsa oleh pertanyaan-pertanyaan kami. Bahkan, satu-dua guru sampai kehabisan kata-kata dan menangis keluar kelas karena tak tahu akan menjawab apa pada kami. Pihak sekolah tentu saja tak bisa menyalahkan kami. Kami berdiri di posisi yang benar.

Seperti Monalisa Smile? Kami tak separah itu la~. Cukup sampai membuat para guru kebat-kebit mengikuti perkembangan jaman saja. Cukup sampai membuat para guru harus memiliki posisi dan membangun opini sendiri di luar buku pelajaran atas isu-isu terhangat. Itu saja. Guru-guru kami yang berpengalaman kebanyakan berakhir menjadi orang-orang yang tak malu menunda jawaban di kesempatan bersua berikutnya. Sebagian yang lain adalah orang-orang perfeksionis yang simply tidak bisa melakukan kesalahan (atau berakhir ditertawakan seisi kelas dengan cara yang hangat dan menggoda).

Dengan cara demikian, tak sia-sia lah masa SMA kami. Tak sia-sia lah uang orang tua kami. Percaya tidak percaya, Para Pembaca Budiman, saya merasa kegiatan belajar mengajar seperti demikian justru mendekatkan kami dengan partner baru kami: para guru. Masa-masa belajar yang konstruktif dan efisien.

Dan oleh karena salah satu dosen favorit saya, saya semakin menghargai jasa para guru. Dosen tersebut berkata, "Pendidikan itu bukannya mahal..." lanjutnya, "Pendidikan itu kemewahan: lebih mahal dari mahal."

Atas masa-masa SMA, saya mereguk pendidikan dan bukan cuma pengajaran. Biar saya dibebani pekerjaan yang menumpuk saat-saat itu, saya berakhir dengan menertawakan masa-masa tersebut dengan guru-guru saya tiap kali saya bertandang ke sekolah lama. Menyenangkan.

Pada topik lain, Para Pembaca Budiman, akhir-akhir ini cuaca semakin dingin. Hujan semakin sering, dan angin semakin kencang. Saya tentu tidak berkeberatan sama sekali. Saya senang hujan (kan, saya ulang lagi pernyataan itu? Betapa saya mencintai cuaca akhir-akhir ini!).

Permasalahannya, cuaca hujan selalu membuat saya semakin malas. Maka, doakanlah saya, Sosodara, agar saya bisa kuat hati mengerjakan skripsi yang masih jauh dari selesai ini. Hehehe.

Jumat, 28 November 2008

How Far Can You Go?

phew...that was almost!

The following story that you are about to read is true. Even so, the author holds no responsibilty in any replication of the following story nor any implications that followed any failure to meet the same result on the replications. In other words: "Do it on your own risk".

Fully God's mercy, (I thank Thee, Lord!) vaguely BBC's Top Gear shows memory, and a smear chance of luck, I went incredibly far today. My car has shown its significance in fuel efficiency and reliability to the max that I've known so far. Yes, the manufacturer said that this car is efficient. Yet the manufacturer has never count the real traffic that each and every Jakartans need to battle out each and every day. Combined with the condition of rush hour, completely out of money and barely any fuel left, a potential disaster was spying right aroud the corner.

Though my love life, hypothetically speaking, would have been better off if I ride one of these 2,500 cc-engine-powered-macho-vehicle. My car proved to me that I would--in aggregate--better off with her instead.

Ok. So it's not the prettiest car on earth. It may not be the choice of celebrities, royals, and head-of-states. But holding the circumstance that I am this ever "bokek" undergraduate student, my car is perfect. It has a nice 1,500 cc engine with 110 horse power enough to hit 120 km/h without any problem. It has an automatic transmission that would be significantly helpful in times of traffic jam. And yet, it has all the convenience that you would expect from a Honda.

Back to the potential disaster. It all started this morning when my mother is still in her peaceful state of slumber when I woke her up and ask whether there were any fuel left in my car tank (my mother used my car the day before). She shortly confirmed that there were some fuel left. And so I went to the campus. Stupidily, I didn't check the fuel the whole journey to the campus. Long story short, I arrived at my campus and lived my another-so-so-campus-day once again.

I took a mock TOEFL test as a significant marking component in my subject today. It cost me Rp100,000 (which was all I have minus the parking fee I spared for the day). And the problem starts right when I turned my engine on. I noticed that my fuel indicator was not in the position that would rest me assured. Shocked, I was trying to find any money left in my pocket. None. All that were left in my wallet were some useless SG$20.

So I embraced myself and start my journey back home. It was 6 at that time, and the traffic is never good at those times. My short-minded brain tell me to hit the gas and reach home as fast as I can. But my logical memory told me to go slow. As I watched Top Gear months ago, one of the host actually went completely from one city to another in a limited fuel. The host held the rpm constant and reduce any sudden brakes or acceleration. And so I did. During the 17.31 km journey (as shown below), I held a constant 1,000-1,500 rpm and reduce the amount of brakes and unnecessary acceleration. It was not the velocity that counts, but the rpm that counts. And I made it. T_T Thank God I made it! I love you, car!

Sabtu, 22 November 2008

Ga kuat!

Bagi gua, ada begitu banyak lagu yang bisa membuat gua merinding, terpukul, dan di beberapa kasus extreme, nangis. Pertanyaan besarnya adalah: "What are the factors that counts when we're talking about songs?"

Untuk pertanyaan satu itu, gua punya seribu satu jawaban. Mulai dari penyanyinya, lagunya, liriknya, aransemennya, dan banyak remeh temeh lainnya. Tapi seperti halnya dengan puisi, you just know that it's a great song. Beberapa hari ini, contohnya, gua terbayang-bayang dan dihantui lagu "At Last". Sebuah lagu standar blues yang sudah dinyanyikan "many times, many ways, by many singer". Ini lagu pertama kali dinyanyiin sama Etta James. Dan gua percaya, Etta James adalah penyanyi yang cukup gila menyanyikan lagu ini. Pendalaman karakternya bener-bener unbelieveable. Kayak ada kekuatan yang bener-bener galak dalam suaranya. Sampai akhirnya gua denger dari Rezon kalo Beyonce Knowles meranin karakternya Etta di film The Cadillac Records.

Ok. Karakternya si cocok. Dua-duanya penyanyi dengan suara yang lethal. Dua-duanya punya charm. Dan dua-duanya kebetulan "ratu" di jamannya masing-masing. Tapi bukankah lagu "At Last" udah kayak punya Etta? Ga ada deh satu orang juga di dunia ini yang bisa nyanyiin lagu ini tanpa dibandingin sama penyanyi aslinya. That is, until I heard Beyonce sing this song. Komentar resmi gua akan "At Last" yang dinyanyiin sama Beyonce? (lu orang boleh catet!) "KILLER!"

Sialnya, biar pun tanggal tayang The Cadillac Records Movie di Amerika Serikat udah pasti (5 Desember ini), tanggal tayang film ini di Indonesia masih belon jelas. Akhirnya, gua harus menunggu sampe akhirnya ni pelm ada di Indonesia dan gua juga harus menunggu sampe ost-nya keluar di pasaran sebelum akhirnya ngebeli cd aselinya (yes, gua berani beli tuh satu cd original biar harus nabung dulu cuma gara-gara ngedenger satu track doang--hebat ga tuh tu lagu?)

Gua tentu ga mo lu orang penasaran dong? Oleh karenanya, gua akan kasih lu orang link ke lagu itu di imeem, terus kasih video dari youtube buat lu-lu pade yang males ngeklik-ngeklik lagi. Oh iya, buat yang ngeklik ke link lagunya di imeem, itu lagu ada di bawah-bawah. Scroll aja dulu ampe ketemu tu lagu di playernya. Gampang kok nyarinya. Gua yakin lu orang ga segaptek itu. Jyahahaha.

By the end, gua mo nyelametin Beyonce karena keberanian dia nyanyi ni lagu di depan Etta James (Duh, Yon. Hebat banget sih Loh?! *sok kenal*). Gua salut juga ama kerja keras Beyonce sampe dia bisa ngalahin image Etta yang kentel banget di lagu ini (pendapat pribadi gua nih). Dan buat lu pade, enjoy!

Jumat, 21 November 2008

Buru-buru...

Cuma buat nepatin janji aja, gua akan post rambut yang gua poto buru-buru.

Hari ini adalah hari ulang tahun Oma gua (Happy Birthday, Oma!) dan di makan-makan hari ini, gua ketemu ama keponakan gua yang lucu itu. Senang sekali. Gua pun akhirnya membuat link khusus supaya Anda semua, Para Pembaca Budiman, dapat berbagi gemas dengan gua. Jyahahahah. Bagi anda yang malas untuk pergi ke halaman Klarita Jovecy, berikut satu foto yang gua minta dari maknya. Jyahaha. Demikian posting pendek yang buru-buru dari saya.


Rabu, 19 November 2008

Coming Up Next...


Rainy Days And Mondays - The Carpenters


Saya suka cuaca belakangan ini. Setelah dihadapkan pada hari-hari panas yang melelahkan di minggu-minggu sebelumnya, saya sudah cukup muak dengan matahari. Harus saya akui, kebanyakan rasa muak saya ditimbulkan oleh banyaknya keringat yang saya produksi akibat udara panas tersebut. Entah mengapa, saya mudah sekali mengeluarkan keringat. Dan lagi, keringat saya ini bukan keringat biasa (BKB--saingannya Bukan Bintang Biasa: BBB). Selain jumlahnya yang banyak, keringat saya bersifat korosif. Entah berapa banyak jam tangan yang terbuat dari logam yang telah menjadi keganasan keringat saya. Kebanyakan jam tangan logam saya berakhir karatan dan justru menyebabkan kulit pergelangan tangan saya memerah dan gatal-gatal. Sampai akhirnya saya menemukan jam tangan warisan dari Ai saya yang secara ajaib tidak terpengaruh oleh keringat saya.

Selain itu, saya meyakinkan Anda, Para Pembaca Budiman, kalau saya akan terlihat seperti babi kalau sedang berkeringat akibat udara panas. Kulit saya akan memerah parah dan rambut saya yang bergerai-gerai itu akan mulai terlihat lepek ("lepek" apa ya bahasa Indonesianya? Jyahahaha) sedemikian rupa sehingga saya terlihat seperti babi gendut merah yang menjijikan (baca: oom-oom senang). Selain kebencian saya yang begitu mendalam akan udara panas, saya mencintai udara mendung dan hujan karena ada begitu banyak romantika yang tersimpan dalam cuaca tersebut. Seperti yang Anda semua tahu, Indonesia tidak memiliki musim salju atau musim gugur. Maka, satu-satunya pelarian romantis dan bermelankolis ria bagi orang-orang Indonesia (menurut saya) adalah musim hujan.

Seperti hari ini, saya begitu menikmati udara luar kamar sore ini hingga saya merasa begitu nyaman. Tambah teh hangat dan lagu-lagu The Carpenters (seperti yang mungkin Anda dengar saat ini), jadilah sore yang sempurna versi Yosua Mahardika Putra. Ohohoho.

Memang, ada dampak negatif yang begitu signifikan dari hujan (banjir, nafsu makan meningkat tajam, jalanan yang begitu licin untuk dilalui, kubangan air, you name it). Tapi tanpanya, saya tidak bisa hidup. Saya perlu hari-hari adem untuk bermalas-malasan.

Malasnya saya juga berimbas pada rambut saya. Ingat rambut yang berkibar-kibar itu? Sudah tak ada lagi. Jyahahah. Yep, di hari yang hujan-hujan seperti ini saya memutuskan untuk memotong pendek rambut saya. Saya tentu harus berdebat panjang mengenai model rambut saya dan di mana akan saya potong rambut saya. Ibu saya--seorang pemotong rambut--selalu senang dengan rambut panjang saya. Tekstur dan berat rambut saya memang mirip dengan rambut-rambut yang ada di iklan-iklan shampoo *membanggakan diri* sehingga sayang rasanya bila dipotong. Pengalaman saya selama 21 tahun terakhir ini mengajarkan kalau ibu saya selalu memotong rambut saya sesuai dengan keinginannya untuk melihat keindahan rambut tersebut. Sehingga memotong rambut pendek-pendek selama 20 tahun pertama seperti tidak mungkin.

Bahkan, ide rambut pendek pada diri saya harus saya perkenalkan secara drastis. Cheng beng lalu, saya memotong rambut saya atas permintaan yang sangat mengganggu dari ibu saya. Beliau secara terus menerus meminta saya untuk memotong rambut untuk merapihkan ujung-ujung rambut saya (ya, ujung-ujung. Karena Beliau tak mau panjang rambut saya berkurang). Dan akhirnya, saya memotong rambut saya di kota Padang dengan supervisi Beliau. Perjanjiannya saat itu, saya berhak menentukan model rambut dan Beliau tidak boleh protes sama sekali. Hasilnya, saya memotong rambut saya semi-mohawk ala Tuan David Beckham. Tak ayal, ibu saya kaget. Seluruh keluarga besar memberi respons yang beragam. Mulai dari paman saya yang berteriak kaget bak perempuan Jepang, sampai ke kakek saya yang menamai model rambut saya dengan sebutan model rambut "Ayam Pecah Bulu" (kata Beliau, saat ayam sakit, bulu ayam tersebut akan pecah-pecah seperti rambut saya kala itu). Baru setelah rambut saya panjang, ibu saya bercerita bahwa malam setelah saya memotong rambut sedemikian rupa Beliau menangis dan tidak bisa tidur semalam penuh. Tapi rencana saya berhasil. Ibu saya menerima kalau rambut pendek juga ok. Betapa pun, ibu saya tetap pada pendiriannya kalau saya cocok berambut panjang. Oleh karenanya, setelah kejadian heboh di atas, Beliau selalu memastikan kalau rambut saya tidak dipotong segila dulu. Kontrol pun diperketat.

Secara personal, saya menolak bila Beliau mau memotong rambut saya akhir-akhir ini. Alasan ketidakberanian Beliau memotong rambut saya secara drastis menjadi alasan pamungkas saya. Kami pun sepakat kalau acara memotong rambut perlu dilakukan oleh orang lain dengan peralatan yang lebih memadai. Oleh karenanya, kami memerlukan waktu yang cukup lama untuk mencari tempat potong rambut yang cocok dengan selera kami berdua.

Tentang model potong rambut kali ini, saya memang secara eksplisit menyatakan hendak memotong rambut "tukang-teh-botol" saya. Beliau setuju asal diselesaikan oleh orang terpercaya dan modelnya tidak urakan seperti dulu. Jadilah kami berangkat dan untuk memotong rambut saya di daerah Joglo. Hasilnya memuaskan. Saya senang, Mama pun senang.

Sayangnya, saya tidak bisa menunjukkan hasilnya dulu pada Anda, Para Pembaca Budiman. Pencahayaan yang kurang optimal pada hari-hari hujan menghentikan saya untuk memfoto diri sendiri dan menunjukkan rambut baru ini pada Anda *Ala~~~h. Bilang aja males*. Oleh karenanya, saya berjanji untuk memfoto diri saya dan menunjukkan rambut baru saya pada Anda segera setelah ada kesempatan baik (baca: postingan selanjutnya). Sampai saat itu, Anda harus puas dengan lagu yang saya sediakan pada posting kali ini. Hehehe.

PS: Special Thanks for iMeem and ~ UNTAMED DESIREZ ~

Selasa, 18 November 2008

Topics To Say...

No, Cink, when I refer to "Para Pembaca Budiman", I mean "Para". Real "Para". It's just that my Indonesian readers don't comment somehow. Jyahahah.

Beberapa hari ini saya berpikir untuk mencari topik. Bukan, bukan untuk skripsi saya (yang entah kapan akan saya kerjakan itu), tapi untuk dibicarakan kepada Anda, Para Pembaca Budiman. Entah mengapa, saya seakan kehabisan topik untuk di"obrol"kan. Sampai saya mendapat surat elektronik dari youtube yang menotifikasi adanya video-video baru dari langganan saya. Dan, voila, saya menulis.

Seperti yang beberapa dari Anda tahu, saya memiliki perhatian besar terhadap makanan (selain badan yang besar yang juga diakibatkan oleh makanan, tentunya). Saya begitu cerewet soal rasa makanan saya. Tidak peduli makan di pinggir jalan mana, asal makanan tersebut enak, saya tak segan-segan mempromosikan dan mengingat-ingat lokasi jualan makanan tersebut. Demikian pula sebaliknya, bila makanan tersebut tidak enak, tak peduli makan di restoran kelas atas mana, saya tak segan-segan menjelek-jelekkannya di depan semua orang.

Kecintaan saya akan makanan tentu dimulai dari kebiasaan keluarga saya yang mampu pergi "ke ujung dunia" untuk mengejar makanan enak. Kami biasa pergi tengah malam ke tengah kota untuk sekedar makan bubur atau mie favorit kami. Tak jarang, kami bangun subuh-subuh supaya bisa makan mie Kota Kembang di daerah krekot. Sehingga, bila Anda bertanya pada saya, saya tidak begitu tahu apakah saya "makan untuk hidup", atau "hidup untuk makan".

Saya percaya ibu saya berperan sangat besar dalam pembentukan karakter "cerewet" dan "sok kritikus makanan" saya. Bukan karena Beliau adalah orang yang cerewet atas makanan, namun lebih kepada keahlian beliau memasak. Selain seorang koki yang berpengalaman, Beliau (menurut saya) adalah koki yang luar biasa. Entah mengapa apa-apa yang dimasaknya kebanyakan enak. Anda mungkin berkata "Ya, iya lah. Itu Mak lo! Don't we all think that our Mum is a good chef?" Tapi mengingat lidah saya yang cerewet ini, Saudara, percayalah, saya tahu apa yang saya katakan (terbukti dengan beberapa teman saya yang sudah mencobai makanan Mak saya dan seakan tak bisa berhenti. Entah doyan, laper atau memang rakus. Hohoho). Pengalaman makan makanan yang enak tiap-tiap hari inilah yang membuat lidah saya peka terhadap makanan yang tidak enak.

Saya percaya akan kekuatan kuliner orang-orang Indonesia. Menurut saya, kita begitu diberkahi dengan makanan-makanan dengan cita rasa yang kuat dan endang bambang gulindang (enak, begitu). Maka ketika saya mendapati makanan yang saya beli tidak enak, saya akan merasa kesal karena telah membuang uang dengan percuma dan telah membuang kesempatan makan enak saya hari itu. Seringkali, makanan mempengaruhi mood saya dan menjadi obat yang mujarab bagi mood saya yang sedang jelek.

Kembali ke soal youtube, surat elektronik saya menotifikasi kalau saluran langganan saya telah bertambah satu resep baru. Saya berlangganan saluran Foodwishes. Yang menarik dari saluran ini adalah saluran ini selalu menciptakan makanan dengan cara yang mudah (atau dalam kasus saya TERLIHAT mudah: Hey, saya kritikus makanan dan bukan koki) dan tidak sok kechef-chefan. Ditambah, suara Chef John yang terdengar begitu bersahabat dan sincere, jadilah channel ini begitu menarik. Video berikut bukan merupakan video terbaru dari Chef John, namun sangat menarik perhatian saya (rasanya pengen makan apple pie). Selain bisa dilihat di youtube, video-video Chef John dapat dilihat di www.foodwishes.com. Jadi, kalau boleh saya meminjam kata penutup Chef John, "Enjoy!"


Kamis, 13 November 2008

Bayar hutang...

Ada begitu banyak alasan saya tidak menulis kepada Anda selama satu minggu ini, Para Pembaca Budiman. Untuk memulainya, minggu ini adalah minggu yang berat bagi saya. Seperti yang beberapa dari Anda ketahui, saya adalah mahasiswa semester akhir di universitas tempat saya belajar saat ini. Mengingat tugas dan tanggung jawab saya tersebut, saya ingin mendapat nilai yang baik pada mata kuliah-mata kuliah saya yang terakhir. Dua di antara mata kuliah-mata kuliah tersebut adalah "Manajemen Lintas Budaya" dan "Budaya Organisasi". Dua mata kuliah tersebut kebetulan diajar oleh dosen yang sama. Dan dosen tersebut adalah dosen yang cukup sibuk. Saya dan kelompok saya pun, akhirnya mendapat giliran presentasi pada dua minggu berturut-turut. Akhirnya, saya dan rekan kerja pun bekerja kalang-kabut untuk menyelesaikan presentasi tersebut. Untungnya, dosen kami ini cukup melek teknologi. Beliau bahkan adalah seorang pemakai setia Facebook. Hohoho. Oleh karenanya, pertanyaan-pertanyaan kami dijawab dengan cepat dan efisien menggunakan e-mail. Untungnya, kedua-dua presentasi yang berakhir hari selasa lalu berjalan dengan mulus. Dosen kami terlihat cukup puas dengan kerjaan kami yang dikebut itu. Hehehe.

Alasan kedua, Sosodara, adalah karena saya tidak hendak merepotkan Anda dengan dua posting yang terpisah mengenai satu topik: pameran. Oleh karenanya, saya menunggu untuk mendatangi dua pameran sebelum akhirnya memutuskan untuk memberitakannya kepada Anda. Maka, segera setelah saya pulang dari Incocomtech, saya menulis pada Anda (Betapa saya sangat sayang pada Anda, coba! Kurang apa lagi?)

Kita mulai dari pameran. Seperti yang saya ceritakan di sini, saya berniat untuk mendatangi dua pameran paling anyar di Jakarta: Indonesia-Japan Expo 2008, dan Indocomtech. Yang satu merupakan pameran produk-produk Jepang, dan yang satu lagi merupakan pameran tahunan yang berkaitan dengan komputer dan dunia persilatan perkomputeran. Hohoho.

Mengenai Indonesia-Japan Expo saya tak dapat bercerita banyak. Selain karena pamerannya tidak terlalu menarik, saya sendiri bersama teman saya datang pada saat yang kurang tepat. Selain datang di tengah hari bolong, kami datang pada hari kerja. Walhasil, kami ke tempat pameran dengan disambut pameran yang sepi pengunjung. Sebenarnya, saya mengharapkan akan melihat banyak kebudayaan Jepang di sana. Namun apa mau dikata, yang ada di sana lebih ke arah pengenalan produk negeri matahari terbit. Saya malah melihat Indonesia di masa depan. Dengan norak, saya berfoto di display calon MRT Indonesia. Hohoho.

Pameran kedua--Indocomtech--seperti merupakan obat yang saya tunggu-tunggu. Seperti biasa, saya selalu terhibur dengan pameran-pameran macam ini. Ya teknologinya, ya displanya, ya ramainya. Tapi yang paling penting ya... Murahnya. Hohoho. Memang, semurah-murahnya harga yang ditawarkan, saya tetap harus merogoh kocek yang dalam. Tapi bukankah pengetahuan akan harga-harga barang dambaan merupakan pengetahuan yang sangat berharga?

Bicara soal display, Indocomtech bagi saya adalah pameran yang sangat sayang untuk dilewatkan. Selain PRJ, di sinilah para vendor berlomba-lomba untuk mengeluarkan modal. Bagi saya, modal yang dikeluarkan oleh para vendor sangat well-spent. Betapa tidak? Baik kualitas dan kuantitas stand begitu mencolok. Dan menurut saya, stand-stand dengan display yang menarik inilah yang sering mencuri perhatian pembeli dan pengunjung pameran.
Saya pun akhirnya membeli sebuah bluetooth transmitter dengan harga Rp50.000,-. Agak mahal memang bila dibanding dengan transmitter pada umumnya. Namun mengingat ukurannya yang begitu menggoda, saya cukup terhibur. Toh, saya sudah keliling-keliling satu pameran tersebut untuk mendapatkan harga yang paling murah. Sekedar tips untuk Anda, jangan terburu-buru membeli barang di pameran. Berkelilinglah. Pengalaman mengajarkan saya kalau lima meter dari toko tempat Anda berdiri ada barang yang sama dengan harga yang lebih murah Rp5.000,-. Hohoho. Dan lihatlah, hasil jalan-jalan saya hari ini. Bandingkan dengan besar tangan saya. Si penjual sendiri mengklaim kalau si pentul ini mampu mentransfer data ke device lain yang bermeter-meter jauhnya.

Kegiatan lain minggu ini meliputi mengurus kedua anggota keluarga baru. Bukan, Para Pembaca Budiman, bukan sepupu baru yang merupakan sepupu The Dwarfs, namun dua kelinci lucu yang bernama Mika dan Chika. Adik saya begitu perhatian dan begitu bodoh sampai-sampai ia selalu merasa kalau kedua kelinci tersebut kelaparan. Benar saja, dengan formula"Ketidaktahuan + Kesoktahuan = Kebegoan", adik saya memberi makan kol ke kelinci-kelinci malang tersebut (yang setelah saya cek di internet, kol berbahaya bagi kelinci karena dapat menyebabkan gas berlebih pada lambung yang dapat menimbulkan mencret, kejang, dan berujung pada kematian). Segera setelah saya beritahu kondisi yang membahayakan tersebut, adik saya kalang-kabut. Untungnya, kedua kelinci tersebut tidak kenapa-napa. Jyahahaha.


Minggu ini juga merupakan minggu kompetisi. Setelah sebelumnya saya bertarung makan mie ramen super pedas, saya minggu ini menjawab tantangan di sebuah restoran untuk makan nasi goreng dengan porsi ganda dalam waktu kurang dari lima belas menit. Hah! Terang saja tantangan ini saya menangkan dengan amat mudah. Saya pun membalas kekalahan saya dari Christy dengan mencatatkan waktu yang lebih cepat lima menit dari beliau. Yang unik dari kompetisi ini adalah tiap pemenang berhak mendapat voucher makan gratis segera setelah dia disorakin satu restoran. Ini yang saya tidak tahu. Maka kagetlah saya dan teman-teman saya ketika kami disoraki oleh seluruh karyawan restoran tersebut (pake acara tiup terompet segala lagi). Entahlah mana yang lebih menantang: makannya, atau malunya. Jyahahaha.

Kompetisi juga dilakukan di kafe Strawberry. Bagi Anda yang belum tahu apa itu Kafe Strawberry, Kafe yang masuk daftar 100 kafe favorit Jakarta ini menyediakan board games untuk dimainkan saat Anda makan-makanan ringan maupun berat yang disediakan di sana. Sialnya, Kafe ini menyediakan bedak. Maka demikianlah saya pulang di jam satu pagi dengan keadaan hancur lebur seperti yang tampak di bawah ini. Esok harinya, jerawat besar timbul di pipi saya. T_T


Demikian laporan dari saya. Semoga Anda berkenan. ^^

Rabu, 05 November 2008

The Measure Of A Man...

Some says, the measure of a man is laid upon his word. Thus, to fulfill my destiny as a man, let me deliver the following remarks as a price for my own words.


Letter Of Apology

I, Yosua Mahardika Putra, hereby apologize for my careless act of not including the activity of "chatting with my friend, Ms. Esperanza Wendyono" as a part of my important activities mentioned earlier at this blog.

There. I said it. I paid my promise.

Back to the measure of a man. Martin Luther King, Jr. said (and I quote) "The ultimate measure of a man is not where he stands in moments of comfort and convenience, but where he stands at times of challenge and controversy." And so, as a proof to my manhood I accept a daring out-of-my-comfort-zone challenge. As some of you might known, I am not a person with a high level of tolerance towards chilli (Gave me anything hot, and I'll sweat like a pig). And so to eat a super hot ramen is absolutely out of my habit.

Unfortunately, Christy came to me at lunch time and informed me that there is a challenge next to the place I was sitting. The challenge was set by the management of a certain restaurant. The challenge itself was to eat a super-hot ramen in 20 minutes. Those who managed to do the challenge in the given time, will receive a handsome reward of one free meal in the restaurant with a certain menu.

A man needs to hold his pride and dignity high, and as simple as that logic, I need to do this as a test to myself. A big-time-eater as I am cannot be beaten by such an easy challenge, can I? And so I stupidly fell into the challenge.

My ego rushed me to took the challenge. As the stopwatch started, I furiously took the first bite. Yes. It is hot both in Celsius and Scoville. I was okay in the first few sips. Then after the following minute, I began to feel the burning sensation. In the next three minutes I've ate the entire noodle. Unfortunately, the challenge isn't over yet. The rules specifically demanded me to drink the soup until (at most) a tea spoon of it is left. And let me assure you, Ladies and Gentlemen, the soup is the lethal part of the entire challenge.

By the fifth minute, my body started to reject what I was eating. I started to shiver. The next phase involve goosebumps and choking on green onions. Rest assured, I will never do such thing again (STUPID EGO!!!).

However, I have proved to myself that I can if I want to. I finished the entire meal in precisely 11 minutes and 13 seconds. Of course, it is not a record-breaking time. But coming from someone who dislike chili, I earned my friends' respects (including Christy's who finished her ramen in 4 minutes).

With you, Ladies and Gentlemen, I share this winning (the price is not for share, of course. Afterall, I'm the one who still got an upset stomach up until now). As every man has his own battles, I won this one.


Senin, 03 November 2008

Anger...

I'm not the man I am in my typical days when I am angry. Yes, Ma'am, I am this bag of fat full of tantrums when I am angry. You see, I may not have a specific outrage, but a single stupid stuff can blew my day away. As for today, I was in a content mood. That is, until my sister came and dominate the computer.

What you must understand, Ladies and Gentlemen, although my laptop is a "tablet PC", there is nothing personal at all on it when my sister around (believe me, I do want my "Personal Computer" to be personal). As the matter of fact, my computer had been a "PC". Only this time "PC" does not stands for "Personal Computer", but this "PC" stands for "Public Computer". It is a computer that my father like to use (although not to operate) to view clouds on Google Earth. It's the computer my parents use to view soccer games which are not broadcasted in Indonesian television. It's the computer that the dwarfs will use to complete their assignments. And lastly (and the most agitating), it's the computer that my stupid-nerve-wrecking-hideous-moron sister use to do unimportant stuffs. And when I say "unimportant", Ladies and Gentlemen, it is truly "unimportant".

She would spend hours on facebook scraping for stupid guys that she doesn't even know. She would go nuts if I refuse to grant her to use the messenger (which she use to chat with her friends--people who still live in Jakarta and cost you not-even-a-single-dime to text). She would go mad if I change the password without her consent. She would spend hours on the screen to find some stupid Korean boyband photos to admire at. She would selfishly sit still when I told her to move and gimme the computer as I need to use it. All these, and more stupid acts that made her looks as if she is the owner of the laptop!

Okay, so I do use my computer on unimportant things too. But my prerogative is that I OWN THE COMPUTER! I use my computer mostly on important stuffs. My thesis, my assignments, my presentations, my marks are absolutely dependent to this ol' faithful machine. Moreover, I paid the internet religiously. It's amazing how I can commit myself to spare some money to fulfill a commitment despite my demanding money-draining-needs under a strict budget. And she just can't appreciate that! HAH!

And so, I ask your wisdom, Ladies and Gentlemen. Is it my fault to use my computer? Is it harmful for the humanity if I wanted to have my own private computer? I mean, I earned it. I went to this university and I got the computer on my efforts as a reward. I don't mind my computer to be used by others every now and then. But, isn't it too much when I am limited to use my computer to a certain time just to please my naggy sister? Good Lord, forgive me for I have sins. But lemme confess this to You, Dear God: my very first sin this week is spent on my tantrums for my own sister.

And so, I hate my sister for this. She is a good person in general. But when she is in her bad days (as today is), she is no more than just the most hateable person.

PS: @ Cink2x: I think they are not obligated to use the specific eraser. As a matter of fact, I did not recalled any such rules being imposed to us back in our days. However, on the same days, we pretty much were not left with a lot of option as a typical child would have in today's "dunia persilatan penghapus", do we? Fuhuhu. As for the Tip-ek, the reason behind the ban on tip-ek is that they are not allowed to use pens. Therefore, an eraser would be sufficient and anything beyond that (including tip-ek) is unnecessarily ineffective. Hehehe.

Minggu, 02 November 2008

The All New Air Conditioner: Blessing In Disguise

Ya, Para Pembaca Budiman, Gambar di sebelah ini merupakan AC baru saya. Bukan, bukan saya sengaja mengganti AC window saya yang lama (percayalah, AC window tersebut masih ada di rumah saya. Terima kasih atas jasa-jasamu, AC T_T) tetapi karena AC yang baru ini adalah kiriman berkat yang tidak pernah saya duga-duga.

Seperti yang telah saya tulis di sini, kamar di atas rumah saya tengah direnovasi untuk dijadikan kamar yang layak bagi ketiga sepupu saya yang bersekolah di Jakarta baru-baru ini (sepupu-sepupu ini selanjutnya saya sebut dengan sebutan "the dwarfs"). Awalnya, rencana renovasi ini mengurungkan niat saya untuk meminta sejumlah uang dari orang tua saya untuk mendanai "petualangan festival" saya bulan ini. Rasa kecewa, sedih, marah, dan berbagai perasaan negatif lantas meliputi kalbu (tsa~~~h kalbu~~~). Siapa sangka AC baru mengubah cara pandang saya akan renovasi kamar the dwarfs tersebut?

Awalnya, saya mengantar orang tua saya beberapa hari lalu untuk membeli AC. Saya pun tak keberatan sebenarnya bila harus tetap menggunakan AC lama saya. Toh, saya sudah seperti memiliki ikatan batin dengan AC baheula tersebut. Tapi siapa juga yang hendak menolak rejeki nomplok di depan mata? Segera setelah tawaran dari ayah saya datang, insting untuk mencaplok kesempatan langsung bekerja. Maka saya membarter AC lama saya dengan AC baru. The dwarfs tentu saja harus hidup dengan kenyataan pahit kalau mereka harus puas dengan AC warisan saya (ketawa jahat).

Tapi saya tentu tidak melepas tanggung jawab moral saya. Sebagai pemilik lama dari AC itu, saya tidak meninggalkan mereka AC yang bobrok kondisinya. AC yang mereka terima adalah AC teknologi lama yang masih bekerja dengan baik. Tentu, tidak ada fungsi swing, sleep, atau fungsi-fungsi mutakhir lainnya. Namun, dalam urusan memenuhi fungsi dasar AC sebagai pendingin ruangan, AC tersebut tidak kurang suatu apa pun! Oleh karenanya, Sosodara, mereka sebenarnya mendapat good deal karena tidak harus mengorbankan apa-apa untuk mendapatkan AC tersebut. Pihak yang kalah dalam hal AC-perACan ini adalah (tentu saja) ayah saya (baca: si pengeluar dana). Kasihan Beliau. Hohoho.

PS: to Cink2x, iya tuh, gara-gara penghapus biru-oren itu, buku gua ampe robek-robek karena gua maksa pake penghapus yang biru saat yang oren abis. Jyahahaha. As for the candy, maka dateng buru-buru. Hohoho.

Sabtu, 01 November 2008

The Things That Put The Word "Yes" On "Yesterday"...

Ada begitu banyak benda yang mampu membangkitkan kenangan gua akan masa lampau (meskipun masa lampau gua ga banyak-banyak amat--I'm not that old, you know). Gua dengan mudah mengingat masa-masa SD gua tatkala gua melihat penghapus putih berujung hijau yang dihiasi dengan salah satu huruf alfabet. Gua terkesima saat mendengar lagu "Larger Than Life"-nya Backstreet Boys yang langsung melemparkan gua kembali ke masa-masa SMP. Mengagumkan betapa kenangan yang terkubur begitu lama bisa terpicu oleh benda-benda kecil dari masa lampau. Maka, tak heran bila gua menggila melihat benda-benda masa lampau yang ditampilkan di sebuah thread di forum Kaskus. Sekelebat, masa TK gua berputar-putar dalam ingatan kayak di tipi-tipi.

Menurut gua, benda yang paling kuat dampak flashback-nya kebanyakan berupa makanan. Entah mengapa, makanan kecil memiliki tempat yang spesial kalau kita berbicara tentang ingatan jangka panjang gua. Gua mengingat secara detail tidak hanya bentuk dan warna kemasan, namun juga rasa tiap-tiap makanan kecil tersebut. Tidak hanya nama makanan kecil, gua bahkan masih ingat preferensi varian rasa yang merupakan favorit gua.

Salah satu makanan kecil yang berbekas dan masih dapat dijumpai (ya, "masih dapat". Bukan "seringkali") adalah permen yang berbentuk cincin. Bentuknya yang unik membuat gua teringat betapa gua dulu sering merengek-rengek minta dibelikan permen tersebut. Soal preferensi rasa, gua masih ingat betapa gua suka rasa anggur dan rasa melon. Wanginya itu loh, Para Pembaca Budiman, khas sekali. Maka ketika gua menemukan kesempatan baik (barang ada, duit pun cukup) untuk membeli permen tersebut, gua langsung membeli 10 permen cincin tanpa banyak ba-bi-bu. Namun, setelah mengenyot setengah dari cincin melon, gua tersadar betapa gua sangat kuat untuk menghabiskan permen tersebut dulu. Maksud hati gua hendak menghabiskan permen Rp2.100,- itu, tapi apa dikata, mulut emang udah terlalu monyong dan terlalu dower untuk mengenyot lebih lanjut. Alhasil, terbuanglah seperempat permen tersebut setelah isapan-isapan (baca: usaha deperate untuk menghabiskan permen itu) yang terakhir.

On the same note, gua kemungkinan akan mengingat masa-masa kuliah gua dengan sushi. Gua memang menikmati sushi gua terutama pada tahun-tahun terakhir ini. Bila tidak dengan makanan, gua akan mengingat tahun-tahun ini dengan busway. Meski banyak kekurangan di sana-sini, gua menganggap busway sebagai transportasi yang efisien (terutama bila lu berlawanan arah dengan kebanyakan orang pada rush hours). Dan keefisienan Transjakarta dibuktikan dengan hadirnya gua di restoran Shantung di Jalan Antara dalam rangka memenuhi undangan Kuku gua yang kebetulan berulang tahun tanggal 1 November ini. (Happy Birthday, Ku!).

Tidak hanya lebih cepat dari bapak gua yang--dalam waktu bersamaan--naek mobil dari rumah, gua bahkan lebih cepat sampai dari semua orang. Jadilah gua nganggur minum es teh tawar dulu di restoran sebelum akhirnya semua orang sampai di tempat rendezvous. Berikut poto kondisi bus yang gua tumpangi malam ini di halte pertama (catatan: foto di ambil pukul 18:45 yang notabene merupakan jam pulang kerja. Karena gua menuju kota, maka kondisi bus yang kosong melompong gini bukan hal yang aneh).


Jumat, 31 Oktober 2008

The "Otaku" Side of Yosua...

Dalam bahasa Jepang, kata "otaku" seringkali diasosiasikan sebagai orang yang memiliki minat secara ber-lebay-an. Masing-masing otaku sendiri bisa menganut satu atau lebih minat. Minat ini terdiri dari (dan tidak terbatas pada) bermacam-macam aliran manga, cosplay, hentai, idola, action figure, atau benda-benda lainnya. Kegilaan para otaku akan benda-benda yang diminatinya bahkan membuat mereka rela mengeluarkan dana tanpa anggaran yang jelas demi mengejar benda yang menjadi obsesinya. Sehingga, tak jarang, para otaku ini menjadi "sasaran empuk" bagi para pengusaha yang jeli melihat peluang.

Penjelasannya cukup sampai di situ dulu. Kalo mo tau lebih lanjut, baca sendiri di pranala yang udah gua bikin di kalimat pertama. Eniwei, gua sih sebenernya ga bisa dikategorikan sebagai otaku. Gua bukan orang yang punya kelebihan energi yang akan ngantri tiga hari tiga malem demi mendapatkan sebuah boneka Gundam terbaru. Tapi kalo soal minat doang mah, gua juga punya.

Meski gua ga begitu qualified sebagai pengotak-atik komputer, gua punya minat yang besar akan benda satu ini. Gua, contohnya, akan rela masuk dan berdesak-desakkan di pameran komputer untuk sekedar ngider-ngider gembira selama berjam-jam untuk ngelihat-lihat komputer yang paling mutakhir yang tersedia di pasaran saat ini. Atau, gua rela menyebrangi lautan manusia di Festival Jajanan Bango yang setaon sekali itu demi mencicipi berbagai makanan. ramenya Festival Jajanan Bango (foto oleh Uda dari sini)

Reaksi yang gua tampilkan di masing-masing festival sendiri berbeda-beda. Tapi kebanyakan sih reaksi gua ketika masuk ke venue festival-festival dan pameran-pameran itu bak anak ilang yang kegirangan karena masuk ke Dufan. Tak jarang, adek perempuan gua sendiri sampe heran. Betapa ngkonya yang sok cool itu bisa berubah menjadi kuda liar karena ngeliat barang-barang yang bagi kebanyakan orang dianggap sebagai "another so-so items". Pada tiap pameran, gua biasa menghabiskan duit jajan gua hingga tetes terakhir. Jadi, tiap ada dua pameran mepet, gua selalu kebingungan untuk mencari sumber pendanaan bagi "reli petualangan pameran" gua.

Seperti yang akan datang pada bulan November ini. Gua sebenernya udah ancer-ancer pengen beli aksesoris komputer yang murah meriah di Indocomtech 2008 yang akan diadakan tanggal 12-16 ini. Tapi emang lagi apes, selain duit gua cekak, datang pula iklan yang gua baca di Kompas dua hari yang lalu. Di iklan tersebut, terpampang lah dengan jumawa Indonesia Japan Expo tanggal 1-9 November yang tidak hanya akan menghadirkan panggung Taiko, pameran manga, dan lain sebagainya, tetapi juga menghadirkan berbagai makanan khas negeri Sakura. Haiyaaaaaa. Akhirnya, ini merupakan pertarungan sengit antara makanan vs. komputer.

Demi tercapainya rencana besar gua untuk dateng di kedua even akbar tersebut, gua berencana untuk mencari sumber pendanaan yang tidak hanya stabil, namun juga menguntungkan. Gua pun berencana untuk ngedeketin kedua orang tua gua. Tapi emang kalo lagi apes ya apes aje. Mereka malah sedang membangun kamar di lantai dua rumah gua. Yang artinya, mereka sendiri sedang mencari sumber pendanaan yang stabil dan menguntungkan. Akhirnya, gua rasa gua hanya akan mampu untuk datang di kedua even tersebut dan ngiler ngeliat barang-barang yang gua ingini tanpa mampu untuk membelinya. Ya nasib, ya nasib. T_T

Rabu, 29 Oktober 2008

Senang dan Cemas...


Saya senang hari ini. Setelah bertahun-tahun mempelajari dunia keuangan, mengkonsentrasikan diri pada pergerakan saham, dan memutuskan topik yang bertumpu pada saham untuk skripsi, akhirnya saya sampai jua di "area perang" sesungguhnya di Bursa Efek Indonesia. Kunjungan saya dan sekitar 80 orang lainnya ke BEI termasuk singkat. Kami bahkan tidak serta merta turun ke lantai bursa (karena lantai bursa merupakan area "steril"--bukan berarti kami ini kuman semua, tentunya). Acara lebih banyak dilakukan di dekat studio mini metro tv di BEI. Pembicara yang menjelaskan sejarah, mekanisme, dan kegiatan BEI secara umum bersusah payah menjelaskan dengan bahasa sesederhana mungkin supaya kami (baca: manusia-manusia bertampang bodoh) mengerti dan menyerap sedikit informasi yang disampaikan. Betapa pun, saya merasa tidak menyerap banyak informasi baru yang saya dapat selain melihat langsung interface JATS (Jakarta Automated Trading System). Semoga saja junior-junior peserta konsentrasi Global Corporate Finance yang turut serta dalam rombongan menyerap lebih banyak dari saya (yang sok tahu segalanya ini. Hohoho). Segera setelah acara selesai, saya dan Christy memisahkan diri dari rombongan untuk pergi ke Senayan City untuk makan di Spageddies. Lagi-lagi senang. Tapi tanpa diduga, mood saya lantas jatuh.

Pada Jam 01:00 ini, mata saya memberontak dan enggan terpejam. Pernah dengar idiom "dari mata turun ke hati"? Kali ini motif utama pemberontakan mata saya tak lain dan tak bukan adalah "dari hati naik ke mata". Tiba-tiba, saya teringat akan banyaknya permasalahan dalam pengolahan data saya. Belum lagi, kerjaan skripsi yang menumpuk dan memanggil-manggil. Maka, mata saya tidak lagi sinkron dengan tubuh saya yang sudah begitu lelah ini. Mata saya berontak dan tak mau terpejam. Sedang tangan saya tak mau menulis skripsi karena otak sudah begitu buntu. Maka, Andalah, Para Pembaca Budiman, yang menjadi pelarian saya. Andalah, Para Pembaca Budiman, teman berbagi cemas saya pada jam satu pagi ini. Menakjubkan bukan? Betapa mood saya bisa begitu labil akhir-akhir ini. Semoga Anda memiliki mood yang lebih baik saat Anda membaca posting-an ini. Selamat pagi, Para Pembaca Budiman. Selamat Pagi.


Senin, 27 Oktober 2008

I know a great poem when I saw one...

And this one is a great one. It's been a while since the last time I thought of posting it on my blog until this afternoon I saw it again in Channel News Asia. It has no title, and no author (or at least, I don't see any title nor author being mentioned in Channel News Asia). And here it goes:

I saw a peacock, with a fiery tail
I saw a blazing comet, drop down hail
I saw a cloud, with ivy circled round
I saw a sturdy oak, creep on the ground
I saw a pismire, swallow up a whale
I saw a raging sea, brim full of ale
I saw a venice glass, sixteen foot deep
I saw a well, full of men's tears that weep
I saw their eyes, all in a flame of fire
I saw a house, as big as the moon and higher
I saw the sun, even in the midst of night
I saw the man that saw these sights.

Dipikir-pikir, "Yang mana?", "Yang mana", "Ya...ng mana... dong?"

Judul yang menyenangkan. Teringat kembali lagu Titik Puspa yang tersohor itu. Tapi kali ini pemikiran lagu ini tidak berujung pada kebingungan seorang perempuan pada pilihan yang diambilnya atas pasangan. Kali ini, selarik kalimat ini berujung pada penyedia layanan GSM mana yang akan saya pilih.

Terus terang, saya kesal akan provider saya yang sekarang. Di banyak hal, saya merasa ditipu. Entah berapa kali provider saya ini mengganti tarifnya dengan semena-mena dan tanpa menanyakan apa yang diinginkan oleh pelanggannya. Padahal, sayalah sebagai pelanggan yang seharusnya memiliki posisi tawar. Toh, pelayanan yang diberikan oleh provider saya ini bukan merupakan pelayanan yang bersifat premium sehingga saya harus membayar lebih mahal. Namun, apa mau dikata? Saya sudah terlanjur malas untuk mempublikasikan nomor yang baru kalau-kalau saya bermaksud untuk mengganti nomor telepon genggam saya.

Sehubungan dengan kuliah dosen saya, saya berniat untuk mencari nomor baru untuk telepon genggam kedua saya. Dosen saya berargumen bahwa memiliki telepon genggam sekunder penting bila Anda berniat untuk melangkah ke dunia kerja. Logika di balik argumen ini ialah nomor bisnis diupayakan dipisahkan dengan nomor pribadi. Sehingga, tatkala Anda tidak ingin diganggu oleh urusan kantor di luar hari kerja, Anda hanya perlu mematikan nomor sekunder yang Anda peruntukkan kegunaannya bagi urusan kantor ini.

Logika yang sederhana namun masuk akal bagi saya. Lantas, saya pun berniat untuk membeli telepon genggam yang berupa jam tangan. Alasannya? Karena telepon genggam saya yang sekarang begitu besar. Bayangkan bila saya harus menggenggam dua telepon genggam berukuran ekstra. Telepon inilah yang akan berfungsi sebagai telepon sekunder saya.

Mengingat sifat telepon genggam jam tangan yang lebih mendukung percakapan verbal daripada sms, saya kemudian mencari provider dengan tarif berbicara yang lebih murah. Berbekal kesakithatian saya terhadap provider lama saya, saya bertekad untuk tidak memilih provider yang sama untuk nomor sekunder saya. Biar begitu, saya lantas dihantam dengan kenyataan PAHIT kalau semua provider GSM di Indonesia BERTARIF PROMO. Artinya, satu-satunya yang pasti dalam pelayanan semua provider yang saya maksud adalah "ketidakpastian tarif" itu sendiri. Maka semakin bingunglah saya dalam memilih. Jagad raya! Dunia apa ini? Semakin banyak penjual, malah semakin sedikit pilihan!


Kamis, 23 Oktober 2008

Hari keempat minggu ini...

Dan gua udah ke bandara udara sebanyak empat kali minggu ini. Kemungkinan besar, gua akan mengakhiri minggu ini dengan kunjungan kelima kalinya ke Soekarno-Hatta. Serasa jadi calo tiket. Ato taksi gelap? Hehehe. Dari keempat (dan kemungkinan kelima) kunjungan gua ke bandara, kelima-limanya gua pergi untuk mengantar dan menjemput orang lain. Artinya, gua ga naek pesawat. Jadi, pegi ke bandaranya si sering. Tapi naek pesawatnya yang kagak (entah gua musti ketawa ato nangis. Huhuhu).

Rabu, 22 Oktober 2008

There's a...

Sweet sadness when you're doing your thesis (or as many of us would refer to "skripsi").

Buat gua pribadi, ada rasa haru melihat orang tua yang berharap banyak pada lu. Ada rasa bangga yang tak tertahankan saat lu menjawab "Skripsi" untuk pertanyaan anonymous, "Semester berapa?". Ada rasa sombong yang membuncah-buncah saat lu menatap sinis pada muka-muka anak baru yang inferior (sorry nih, anak baru. Tapi boleh dong? Kan nanti lu juga akan berasa yang sama? Fuhuhu). Ada cerita yang seru atas betapa lu banyak berubah selama tiga tahun ini (perubahan berat badan yang signifikan, misalnya? *ehm*). Ada rasa galau yang menghantui lu saat lu teringat masa-masa berpendidikan lu yang akan tertunda karena lu akan bekerja. Ada kenyataan pahit yang menjelang-jelang dan menyambut lu kalau lu ga akan pernah lagi se"jaya" ini. Ada kegilaan yang mencengangkan yang membuat lu heran betapa otak lu adalah spons yang bisa menyerap begitu banyak informasi dalam waktu singkat. Ada kekhawatiran akan bagaimana lu akan mendapatkan data lu yang seabreg-abreg itu. Dan ada perubahan yang cukup drastis dalam kehidupan sosial lu.

Betapa tidak? Beruntunglah orang-orang seperti gua yang masih punya tiga hari sosialisasi dengan orang-orang kampus. Gua sih ga kebayang aja gitu kalo gua harus ngerjain skripsi selama enam bulan tanpa pernah sekali pun punya waktu untuk bercengkrama ga jelas dengan orang-orang dekat yang senasib. Sisi jeleknya ya... lu tetep ada kelas.

Beberapa hari yang lalu gua ketemu dengan dosen mata kuliah "Aspek Hukum dalam Bisnis" sama "Perpajakan" gua. Doktor satu ini memang seakan punya rasa kagum terhadap gua dan geng gua--atau paling tidak itu yang kamu rasakan (Ge-eR). Sang doktor sendiri cukup terkejut melihat kami bertiga masih jalan di lorong-lorong kampus. Dia bertanya, "Loh? Kok kalian masih di sini, sih? Belon lulus juga?"

Kaget dan setengah bingung, kami menjawab dengan respons-cepat-sekenanya: "E... Iya, Dok. Hehehe." Setelah senyum-senyum kecil, si doktor lantas berlalu. Terus kita masih ga ngeh juga. Ni orang kenape, ye? Bukannya 3 tahun itu udah cukup cepet ya? Dan setelah gua bertapa cukup lama, gua baru nyadar kalo gua ngambil kelas perpajakan pas semester IV.

Ga ada yang salah sebenernya di gua. Kecuali bahwa kelas "Perpajakan" itu sebenernya subjek untuk anak semester VI. dan semenjak semester IV itu satu setengah tahun yang lalu, maka pantas lah si doktor bertanya-tanya tentang keberadaan tiga tuyul serangkai di lorong-lorong tempat kerjanya. HOHOHO.

Moral of the story: Jangan ambil "Perpajakan" di semester IV.

Sabtu, 19 April 2008

Postingan di blog terdahulu

untuk tetap menjaga tulisan lama, saya memutuskan untuk memberi link ke blog lama saya. Silahkan klik di sini untuk melihat lebih lanjut.

Blog baru nih

Alasan utama saya mengganti blog saya adalah karena saya bosan dengan template yang itu-itu saja. Oleh karenanya, seluruh kegiatan blog saya akan dipindahkan ke alamat ini.

blogger templates | Make Money Online