Jumat, 31 Oktober 2008

The "Otaku" Side of Yosua...

Dalam bahasa Jepang, kata "otaku" seringkali diasosiasikan sebagai orang yang memiliki minat secara ber-lebay-an. Masing-masing otaku sendiri bisa menganut satu atau lebih minat. Minat ini terdiri dari (dan tidak terbatas pada) bermacam-macam aliran manga, cosplay, hentai, idola, action figure, atau benda-benda lainnya. Kegilaan para otaku akan benda-benda yang diminatinya bahkan membuat mereka rela mengeluarkan dana tanpa anggaran yang jelas demi mengejar benda yang menjadi obsesinya. Sehingga, tak jarang, para otaku ini menjadi "sasaran empuk" bagi para pengusaha yang jeli melihat peluang.

Penjelasannya cukup sampai di situ dulu. Kalo mo tau lebih lanjut, baca sendiri di pranala yang udah gua bikin di kalimat pertama. Eniwei, gua sih sebenernya ga bisa dikategorikan sebagai otaku. Gua bukan orang yang punya kelebihan energi yang akan ngantri tiga hari tiga malem demi mendapatkan sebuah boneka Gundam terbaru. Tapi kalo soal minat doang mah, gua juga punya.

Meski gua ga begitu qualified sebagai pengotak-atik komputer, gua punya minat yang besar akan benda satu ini. Gua, contohnya, akan rela masuk dan berdesak-desakkan di pameran komputer untuk sekedar ngider-ngider gembira selama berjam-jam untuk ngelihat-lihat komputer yang paling mutakhir yang tersedia di pasaran saat ini. Atau, gua rela menyebrangi lautan manusia di Festival Jajanan Bango yang setaon sekali itu demi mencicipi berbagai makanan. ramenya Festival Jajanan Bango (foto oleh Uda dari sini)

Reaksi yang gua tampilkan di masing-masing festival sendiri berbeda-beda. Tapi kebanyakan sih reaksi gua ketika masuk ke venue festival-festival dan pameran-pameran itu bak anak ilang yang kegirangan karena masuk ke Dufan. Tak jarang, adek perempuan gua sendiri sampe heran. Betapa ngkonya yang sok cool itu bisa berubah menjadi kuda liar karena ngeliat barang-barang yang bagi kebanyakan orang dianggap sebagai "another so-so items". Pada tiap pameran, gua biasa menghabiskan duit jajan gua hingga tetes terakhir. Jadi, tiap ada dua pameran mepet, gua selalu kebingungan untuk mencari sumber pendanaan bagi "reli petualangan pameran" gua.

Seperti yang akan datang pada bulan November ini. Gua sebenernya udah ancer-ancer pengen beli aksesoris komputer yang murah meriah di Indocomtech 2008 yang akan diadakan tanggal 12-16 ini. Tapi emang lagi apes, selain duit gua cekak, datang pula iklan yang gua baca di Kompas dua hari yang lalu. Di iklan tersebut, terpampang lah dengan jumawa Indonesia Japan Expo tanggal 1-9 November yang tidak hanya akan menghadirkan panggung Taiko, pameran manga, dan lain sebagainya, tetapi juga menghadirkan berbagai makanan khas negeri Sakura. Haiyaaaaaa. Akhirnya, ini merupakan pertarungan sengit antara makanan vs. komputer.

Demi tercapainya rencana besar gua untuk dateng di kedua even akbar tersebut, gua berencana untuk mencari sumber pendanaan yang tidak hanya stabil, namun juga menguntungkan. Gua pun berencana untuk ngedeketin kedua orang tua gua. Tapi emang kalo lagi apes ya apes aje. Mereka malah sedang membangun kamar di lantai dua rumah gua. Yang artinya, mereka sendiri sedang mencari sumber pendanaan yang stabil dan menguntungkan. Akhirnya, gua rasa gua hanya akan mampu untuk datang di kedua even tersebut dan ngiler ngeliat barang-barang yang gua ingini tanpa mampu untuk membelinya. Ya nasib, ya nasib. T_T

Rabu, 29 Oktober 2008

Senang dan Cemas...


Saya senang hari ini. Setelah bertahun-tahun mempelajari dunia keuangan, mengkonsentrasikan diri pada pergerakan saham, dan memutuskan topik yang bertumpu pada saham untuk skripsi, akhirnya saya sampai jua di "area perang" sesungguhnya di Bursa Efek Indonesia. Kunjungan saya dan sekitar 80 orang lainnya ke BEI termasuk singkat. Kami bahkan tidak serta merta turun ke lantai bursa (karena lantai bursa merupakan area "steril"--bukan berarti kami ini kuman semua, tentunya). Acara lebih banyak dilakukan di dekat studio mini metro tv di BEI. Pembicara yang menjelaskan sejarah, mekanisme, dan kegiatan BEI secara umum bersusah payah menjelaskan dengan bahasa sesederhana mungkin supaya kami (baca: manusia-manusia bertampang bodoh) mengerti dan menyerap sedikit informasi yang disampaikan. Betapa pun, saya merasa tidak menyerap banyak informasi baru yang saya dapat selain melihat langsung interface JATS (Jakarta Automated Trading System). Semoga saja junior-junior peserta konsentrasi Global Corporate Finance yang turut serta dalam rombongan menyerap lebih banyak dari saya (yang sok tahu segalanya ini. Hohoho). Segera setelah acara selesai, saya dan Christy memisahkan diri dari rombongan untuk pergi ke Senayan City untuk makan di Spageddies. Lagi-lagi senang. Tapi tanpa diduga, mood saya lantas jatuh.

Pada Jam 01:00 ini, mata saya memberontak dan enggan terpejam. Pernah dengar idiom "dari mata turun ke hati"? Kali ini motif utama pemberontakan mata saya tak lain dan tak bukan adalah "dari hati naik ke mata". Tiba-tiba, saya teringat akan banyaknya permasalahan dalam pengolahan data saya. Belum lagi, kerjaan skripsi yang menumpuk dan memanggil-manggil. Maka, mata saya tidak lagi sinkron dengan tubuh saya yang sudah begitu lelah ini. Mata saya berontak dan tak mau terpejam. Sedang tangan saya tak mau menulis skripsi karena otak sudah begitu buntu. Maka, Andalah, Para Pembaca Budiman, yang menjadi pelarian saya. Andalah, Para Pembaca Budiman, teman berbagi cemas saya pada jam satu pagi ini. Menakjubkan bukan? Betapa mood saya bisa begitu labil akhir-akhir ini. Semoga Anda memiliki mood yang lebih baik saat Anda membaca posting-an ini. Selamat pagi, Para Pembaca Budiman. Selamat Pagi.


Senin, 27 Oktober 2008

I know a great poem when I saw one...

And this one is a great one. It's been a while since the last time I thought of posting it on my blog until this afternoon I saw it again in Channel News Asia. It has no title, and no author (or at least, I don't see any title nor author being mentioned in Channel News Asia). And here it goes:

I saw a peacock, with a fiery tail
I saw a blazing comet, drop down hail
I saw a cloud, with ivy circled round
I saw a sturdy oak, creep on the ground
I saw a pismire, swallow up a whale
I saw a raging sea, brim full of ale
I saw a venice glass, sixteen foot deep
I saw a well, full of men's tears that weep
I saw their eyes, all in a flame of fire
I saw a house, as big as the moon and higher
I saw the sun, even in the midst of night
I saw the man that saw these sights.

Dipikir-pikir, "Yang mana?", "Yang mana", "Ya...ng mana... dong?"

Judul yang menyenangkan. Teringat kembali lagu Titik Puspa yang tersohor itu. Tapi kali ini pemikiran lagu ini tidak berujung pada kebingungan seorang perempuan pada pilihan yang diambilnya atas pasangan. Kali ini, selarik kalimat ini berujung pada penyedia layanan GSM mana yang akan saya pilih.

Terus terang, saya kesal akan provider saya yang sekarang. Di banyak hal, saya merasa ditipu. Entah berapa kali provider saya ini mengganti tarifnya dengan semena-mena dan tanpa menanyakan apa yang diinginkan oleh pelanggannya. Padahal, sayalah sebagai pelanggan yang seharusnya memiliki posisi tawar. Toh, pelayanan yang diberikan oleh provider saya ini bukan merupakan pelayanan yang bersifat premium sehingga saya harus membayar lebih mahal. Namun, apa mau dikata? Saya sudah terlanjur malas untuk mempublikasikan nomor yang baru kalau-kalau saya bermaksud untuk mengganti nomor telepon genggam saya.

Sehubungan dengan kuliah dosen saya, saya berniat untuk mencari nomor baru untuk telepon genggam kedua saya. Dosen saya berargumen bahwa memiliki telepon genggam sekunder penting bila Anda berniat untuk melangkah ke dunia kerja. Logika di balik argumen ini ialah nomor bisnis diupayakan dipisahkan dengan nomor pribadi. Sehingga, tatkala Anda tidak ingin diganggu oleh urusan kantor di luar hari kerja, Anda hanya perlu mematikan nomor sekunder yang Anda peruntukkan kegunaannya bagi urusan kantor ini.

Logika yang sederhana namun masuk akal bagi saya. Lantas, saya pun berniat untuk membeli telepon genggam yang berupa jam tangan. Alasannya? Karena telepon genggam saya yang sekarang begitu besar. Bayangkan bila saya harus menggenggam dua telepon genggam berukuran ekstra. Telepon inilah yang akan berfungsi sebagai telepon sekunder saya.

Mengingat sifat telepon genggam jam tangan yang lebih mendukung percakapan verbal daripada sms, saya kemudian mencari provider dengan tarif berbicara yang lebih murah. Berbekal kesakithatian saya terhadap provider lama saya, saya bertekad untuk tidak memilih provider yang sama untuk nomor sekunder saya. Biar begitu, saya lantas dihantam dengan kenyataan PAHIT kalau semua provider GSM di Indonesia BERTARIF PROMO. Artinya, satu-satunya yang pasti dalam pelayanan semua provider yang saya maksud adalah "ketidakpastian tarif" itu sendiri. Maka semakin bingunglah saya dalam memilih. Jagad raya! Dunia apa ini? Semakin banyak penjual, malah semakin sedikit pilihan!


Kamis, 23 Oktober 2008

Hari keempat minggu ini...

Dan gua udah ke bandara udara sebanyak empat kali minggu ini. Kemungkinan besar, gua akan mengakhiri minggu ini dengan kunjungan kelima kalinya ke Soekarno-Hatta. Serasa jadi calo tiket. Ato taksi gelap? Hehehe. Dari keempat (dan kemungkinan kelima) kunjungan gua ke bandara, kelima-limanya gua pergi untuk mengantar dan menjemput orang lain. Artinya, gua ga naek pesawat. Jadi, pegi ke bandaranya si sering. Tapi naek pesawatnya yang kagak (entah gua musti ketawa ato nangis. Huhuhu).

Rabu, 22 Oktober 2008

There's a...

Sweet sadness when you're doing your thesis (or as many of us would refer to "skripsi").

Buat gua pribadi, ada rasa haru melihat orang tua yang berharap banyak pada lu. Ada rasa bangga yang tak tertahankan saat lu menjawab "Skripsi" untuk pertanyaan anonymous, "Semester berapa?". Ada rasa sombong yang membuncah-buncah saat lu menatap sinis pada muka-muka anak baru yang inferior (sorry nih, anak baru. Tapi boleh dong? Kan nanti lu juga akan berasa yang sama? Fuhuhu). Ada cerita yang seru atas betapa lu banyak berubah selama tiga tahun ini (perubahan berat badan yang signifikan, misalnya? *ehm*). Ada rasa galau yang menghantui lu saat lu teringat masa-masa berpendidikan lu yang akan tertunda karena lu akan bekerja. Ada kenyataan pahit yang menjelang-jelang dan menyambut lu kalau lu ga akan pernah lagi se"jaya" ini. Ada kegilaan yang mencengangkan yang membuat lu heran betapa otak lu adalah spons yang bisa menyerap begitu banyak informasi dalam waktu singkat. Ada kekhawatiran akan bagaimana lu akan mendapatkan data lu yang seabreg-abreg itu. Dan ada perubahan yang cukup drastis dalam kehidupan sosial lu.

Betapa tidak? Beruntunglah orang-orang seperti gua yang masih punya tiga hari sosialisasi dengan orang-orang kampus. Gua sih ga kebayang aja gitu kalo gua harus ngerjain skripsi selama enam bulan tanpa pernah sekali pun punya waktu untuk bercengkrama ga jelas dengan orang-orang dekat yang senasib. Sisi jeleknya ya... lu tetep ada kelas.

Beberapa hari yang lalu gua ketemu dengan dosen mata kuliah "Aspek Hukum dalam Bisnis" sama "Perpajakan" gua. Doktor satu ini memang seakan punya rasa kagum terhadap gua dan geng gua--atau paling tidak itu yang kamu rasakan (Ge-eR). Sang doktor sendiri cukup terkejut melihat kami bertiga masih jalan di lorong-lorong kampus. Dia bertanya, "Loh? Kok kalian masih di sini, sih? Belon lulus juga?"

Kaget dan setengah bingung, kami menjawab dengan respons-cepat-sekenanya: "E... Iya, Dok. Hehehe." Setelah senyum-senyum kecil, si doktor lantas berlalu. Terus kita masih ga ngeh juga. Ni orang kenape, ye? Bukannya 3 tahun itu udah cukup cepet ya? Dan setelah gua bertapa cukup lama, gua baru nyadar kalo gua ngambil kelas perpajakan pas semester IV.

Ga ada yang salah sebenernya di gua. Kecuali bahwa kelas "Perpajakan" itu sebenernya subjek untuk anak semester VI. dan semenjak semester IV itu satu setengah tahun yang lalu, maka pantas lah si doktor bertanya-tanya tentang keberadaan tiga tuyul serangkai di lorong-lorong tempat kerjanya. HOHOHO.

Moral of the story: Jangan ambil "Perpajakan" di semester IV.

blogger templates | Make Money Online