Selasa, 29 September 2009

Cerianya September Ceria



Apa kabar? Ke mana saja Anda liburan ini?

Saya dan keluarga beserta tamu saya pergi ke Puncak beberapa hari setelah lebaran. Kami berkesempatan untuk berpelesir ke Taman Bunga Nusantara. Di tanah seluas 35 hektar tersebut, kami mengobati kekecewaan kami akan Kota Bunga yang tidak lagi berbunga. Nampaknya, nama Kota Bunga harus berganti nama dengan nama lain: Kota Rumput, misalnya.

Memang, tatkala kami datang ke Taman Bunga Nusantara beberapa hari yang lalu, bunga-bunga tengah tidak terlalu bervariasi. Saya tentu paham keadaan ini. Setiap tiga bulan, bunga-bunga yang ada di Taman Bunga Nusantara menyelesaikan siklus kehidupannya. Maka, tiap tiga bulan lah, bunga-bunga tersebut diganti. Terlepas dari berbedanya siklus dan waktu penanaman tiap bunga, saya menduga bahwa Taman Bunga Nusantara tengah memasuki tahap-tahap akhir siklus ketika kami berkunjung. Sehingga, jumlah bunga yang kami dapati tidak sebanyak jumlah yang pernah kami lihat pada kunjungan-kunjungan yang terdahulu.

Meski demikian, bukan Taman Bunga Nusantara namanya kalau tidak ada bunga (namanya tentu akan menjadi Taman Nusantara. Hahaha). Maka, ada saja bunga-bunga yang menarik perhatian saya. Bunga-bunga cantik ini kebanyakan saya temui di rumah kaca. Sayangnya, saya tidak sebegitu rajin untuk mencatatkan nama-nama bunga tersebut. Shakespare dan Juliet sekali waktu pernah berkata, "What's in name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet", bukan? Maka, cukuplah Anda berbagi kekaguman lewat gambar tanpa nama (kalau males, adaaaaa aja alesannya).


Saya beruntung dapat melewati hari ulang tahun yang lain dari biasanya tahun ini. Selain saya melewati malam ulang tahun saya di Puncak, saya juga menerima banyak ucapan dan hadiah. Si Tamu dan adik saya berbaik hati untuk membangunkan saya tepat tengah malam. Mereka lantas memberi saya kado berupa boneka Elmo yang persis-persis sama dengan yang dimiliki oleh keponakan saya. Maka, giranglah hati saya.

Reaksi saya, meski begitu, jauh dari harapan mereka berdua. Mereka tadinya berpikir kalau saya akan kecewa berat tatkala saya hanya diberi boneka Elmo tersebut (saya sendiri berpikir, kalau mau membuat saya kecewa, harusnya mereka memberi saya baju dengan ukuran M dan lantas mencoret ukuran M tersebut menjadi XL di depan-depan muka saya; Saya tentu akan gondok setengah mati). Mereka lantas mengeluarkan hadiah lain yang seharusnya menjadi puncak acara setelah saya kecewa. Hadiah tersebut berupa headset--yang saya yakin--mahal harganya. Senang kuadrat.

Masih di hari yang sama, tatkala saya sampai di rumah, Ai dan sepupu serta dua tetua jauh lainnya menyambut saya dengan kue black forest dan hadiah lain. Senang kubik. Dan ketika saya pergi ke gereja malam harinya, pendeta yang berkhotbah mengutip kitab Yosua dan lantas meraung-raung betapa Yosua dicintai oleh Tuhan. Senang pangkat empat.


Esoknya, saya berkesempatan untuk merayakan ulang tahun saya bersama teman-teman saya. Dan bukan hanya makan siang, tapi juga makan malam. Bukan hanya nonton 3d, tapi juga main arcade. Bukan hanya satu mal, tapi juga dua mal. Senang pangkat lima.

Terakhir, saya menulis pada Anda. Senang tak terhingga.

Sebagai bonus, saya sertakan mainan yang saya ambil gambarnya di Puncak. yang menarik bukan mainannya. Tapi merek mainannya. Saya terpingkal-pingkal setelah membaca merek mainan tersebut. Bila saja saya tak harus berhemat, saya tentu akan membeli mainan tersebut hanya karena mereknya. Hahaha.


Rabu, 09 September 2009

Kata Pengantar

Tiba-tiba saya terkenang masa-masa menulis skripsi.

Betapa menulis skripsi telah membuat saya begitu rapuh. Betapa menulis skripsi telah menjadi pencapaian besar dalam hidup saya. Betapa menulis skripsi sudah banyak merubah hidup saya. Betapa tak mungkin saya menyelesaikan penulisan skripsi saya tanpa campur tangan banyak orang. Sebagian dari orang-orang ini ada tercatat di Kata Pengantar saya. Kebanyakan dari Beliau-Beliau ini bahkan tak tahu namanya ada di Kata Pengantar tersebut. Meski demikian, saya percaya, ketidaktahuan orang-orang ini, justru merupakan bukti betapa mereka adalah orang-orang yang tidak pamrih. Orang-orang yang tak sadar bahwa hidupnya dan karyanya telah mempengaruhi banyak orang lain.

Selagi saya terkenang-kenang akan skripsi saya, izinkanlah saya membagi sebagian memori saya. Berikut ini tersebut orang-orang yang banyak berjasa buat saya. Berikut ini kata pengantar yang saya tulis:

"Penulis menghaturkan puji syukur ke bawah duli Tuhan Yang Maha Esa. Belas kasihan dan bimbingan-Nya yang penuh telah menuntun penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Tugas akhir berjudul "ADVERSE SELECTION EQUITY MARKET TIMING PADA EMITEN-EMITEN BURSA EFEK INDONESIA PADA TAHUN 1992-2007" ini merupakan sebagian persyaratan akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Satu Universitas Pelita Harapan.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tepat tanpa peran serta dan bantuan banyak pihak. Penulis berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terwujudnya skripsi ini, di antaranya:

1) Bapak Prof. Dr. Roy Sembel, selaku Dekan Fakultas Ekonomi
2) Bapak Dr. Kim Sung Suk, selaku Kepala Jurusan Manajemen, Dosen Pembimbing, dan Dosen Pembimbing Akademik yang telah bersedia menjadi mentor, penyemangat spiritual, teman diskusi--dan terlebih--pendidik yang berintegritas tinggi bagi penulis.
3) Ibu Dr. Titik Indrawati, S.E., M.E. dan Bapak Drs. Tagor Panjaitan yang menjadi panutan besar penulis atas segala pemikiran, gagasan, dan keterbukaan Beliau terhadap teori-teori keuangan serta pengajaran-pengajaran yang penulis terima semasa berkuliah di Universitas Pelita Harapan.
4) Tuan dan Nyonya Prof. Generoso Octavio yang memicu ketertarikan penulis akan dunia keuangan serta suporter doa yang setia bagi banyak anak didiknya.
5) Dr. Gn Godman, Dr. Juanna Judith H., Bapak J. Ongkowidjaja, S.E., Linawati Arifin, S.E., Bapak Ardo R. Dwitanto, S.E., M.S.M. Bapak A. Aries H. Prasetyo, S.E., M.M., RFP-I, dan seluruh staf tata usaha Fakultas Ekonomi dan Perpustakaan Universitas Pelita Harapan yang banyak membantu penulis semasa perkuliahan dan penulisan skripsi.
6) Orang tua penulis, atas tuntunan dan dukungan tak bersyarat serta kepercayaan yang besar atas penulis. Kepada kedua orang tua ini penulis mendedikasikan segala jerih upaya penulis.
7) Tuan dan Nyonya A. Suryadi, Tuan dan Nyonya Henry Lie, Lidya Dianty, Baby R. Limous, Sonia Limous, Celine Limous, Dea Suryadi, dan seluruh keluarga besar atas kepercayaan dan kebanggaan yang ditanamkan pada penulis.
8) Ibu Dra. Sugiharti, pendidik, pemerhati pendidikan, sahabat, mentor, dan pencelik wawasan yang membangun bagi penulis dan banyak anak didiknya yang lain.
9) Tuan R. J. Singal, dan Nona E. Wendyono yang telah menjadi sahabat karib dan pemerhati penulis di segala lini kehidupan tanpa pandang waktu.
10) Christy Roesli, Clarissa A. Intani, Yunengsi, dan Carolus E. C. S. yang ada dan sedia di saat penulis membutuhkan. Sahabat kritis yang manusiawi dan menyenangkan.
11) Teman-teman sekelas yang banyak membantu penulis semasa berkuliah di Universitas Pelita Harapan.
12) Tuan B. Gates, Tuan S. Brin, dan Tuan L. Page yang telah merevolusi cara penulis dalam berkehidupan.
13) Dan pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karenanya, penulis meminta maaf atas segala kekurangan yang terdapat pada skripsi ini. Penulis menerima dengan senang hati segala masukan, saran, dan kritik membangun demi perbaikan penelitian ini. Penulis mengharapkan skripsi ini dapat berkontribusi bagi masyarakat intelektual dalam memperluas wawasan.

Karawaci, 20 Februari 2009



Penulis"

Rabu, 26 Agustus 2009

Life in frame

Betapa saya sudah begitu lama meninggalkan Anda, Para Pembaca Budiman. Saya begitu sibuk sehingga tak jua mengabarkan keadaan saya pada Anda. Akhir-akhir ini, selain sibuk dengan pekerjaan, saya telah mengambil keputusan besar untuk berhenti dari pekerjaan saya dan berkonsentrasi pada GMAT. Tapi saya tak akan bicara tentang keputusan ini sekarang. Terlalu pelik dan tidak begitu menyenangkan. Mungkin nanti. Mungkin tidak. Hehehe.

Saya baru saja membantu keponakan saya dengan foto-fotonya. Saya memunggah foto-foto tersebut ke akun facebook ibunya. Saya tentu tidak keberatan dimintai tolong. Toh anak itu begitu lucu dan begitu mengagumkan (berapa ratus kali sudah saya katakan hal ini pada Anda, ya?). Di balik foto-foto jenaka tersebut, saya mendengar cerita ibunya akan tingkah polah bocah satu itu. Foto-foto yang akan Anda lihat di bawah diambil ketika ia dan keluarganya pergi ke Taman Safari. Sayang saya tak ikut serta. Tapi setidaknya ceritanya terdengar oleh saya. Si ibu bercerita betapa si anak mengira rusa itu mbek dan meraung-raung minta bonekanya (Elmo) hanya untuk memastikan si boneka ikut menyaksikan si mbek. Si ibu juga bercerita tentang betapa si anak mengira macan-macan yang berfoto bersamanya adalah guguk dan menepuk-nepuk serta menjewer kuping si guguk itu (untungnya tidak ada korban jiwa dalam insiden ini: Ibu, anak, dan macan-macan itu selamat! Puji Tuhaaaan). Si ibu juga bercerita tentang anaknya yang takut akan burung rangkong. Si ibu tentu juga tak lupa bercerita akan betapa si gajah disuap (lebih tepatnya "disodok") wortel oleh si anak. Lagi, tidak ada korban jiwa dalam insiden ini. Si gajah selamat.

Saya lantas berpikir: "Lima saja anak seperti ini menjadi pengunjung di Taman Safari per harinya, saya percaya anak-cucu kita tak akan bisa melihat Taman Safari karena Taman Safari tentu sudah ditutup saking terlalu besarnya kemungkinan jatuhnya korban jiwa."

Masih bicara tentang foto. Berapa banyak dari Anda yang sudah memiliki foto keluarga? Yang di studio-studio foto begitu? Umur berapa Anda berfoto bersama keluarga Anda?

Percaya-tidak percaya, Para Pembaca Budiman, saya BARU SAJA memiliki foto keluarga tersebut pada umur saya yang hampir 22 tahun ini. Itu pun, bila tak ada sesi foto wisuda, tak akan ada pula sesi foto keluarga. Sesi foto keluarga saya disisipkan di tengah-tengah sesi foto wisuda. Maka jadilah kami berempat berfoto bersama di studio foto. Itu juga, saya masih menanti pihak studio untuk menelepon saya dan mengabarkan kalau fotonya sudah jadi. Saat ini, saat saya tengah bercerita pada Anda, foto keluarga tersebut tengah turun cetak. Saya punya versi pra-edit-nya. Anda bisa lihat foto tersebut di kanan ini.

Betapa pun, saya senang bisa berfoto. Bukankah mengurung memori Anda dalam gambar adalah hal yang menyenangkan? Tak heran bila begitu banyak dari kita (ya, kita: SAYA dan ANDA) tenggelam dalam kenarsisan yang begitu akut. Hehehe. Selamat berfoto!

Jumat, 03 Juli 2009

New day, new things...

Before we start, let me tell you how perfect today is. The weather is nice, and I have nothing to complain, today. God is kind. Haha. Ok, here goes...

Ever got told by your parents not to talk to strangers? Because they're dangerous? Because you don't know them? Well, I did got that line back when I was a child. And since I'm a little bit older now, I get to talk to strangers. Of course, I wouldn't talk to someone in the middle of the street. You see, chances are, people might got scared or something to see a ginormous looking stranger pops out and try to make a conversation. But what if you can talk to strangers? What will you say?

Some might think that the idea is dull. I understand the others wouldn't even imagine themselves to talk to strangers. But I kinda like the idea, really. I believe in humans. And I believe in good qualities in humans. And since strangers are humans, I do not see any reason why we should not talk to strangers if the strangers are willingly to talk to us: strangers in their point of view.

Back in my secondary years, there was this thing called mIRC. It is the fun thing to do back then. As I would chat with people that I don't know. Sadly, as time goes by, the people in mIRC are less than friendly to strangers. And even if some people do, most of them will try to get something out of you (your money, your nude pictures, etc.). So I do not wished to chat over mIRC anymore.

Until few hours ago, when I found this thread in an Indonesian forum called Kaskus.us. It tells about this fine website that allows you to chat with other strangers. Of course, you would've found people who are still annoying and impolite. Yet once you found some people who are simply want to chat with other people, you'll find it interesting. I, for instance, got two new friends: one is a Korean who is pursuing his degree in US, and the other is a Taiwanese girl who is learning English.

On the same day, I received an email from Cink-cink. For me, on the same tone, it tells on how humans are actually kind-hearted and pure in nature. In that e-mail, children are given a task. The task is to write to God. Here are some of the letters that they wrote:












P.S.: I have no rights on these pictures, they are not mine, no copyright infringement is intended, and if you by any means felt that your right is violated (Donna, Raphael, Nan, Neil, Ruth M., Robert, Joyce, Lucy, Sam, Norma, Jane, Mark, anyone?) kindly contact me through the comment box, I will be happy to remove it for you. Thank you, and have a very nice day, everyone!

Senin, 15 Juni 2009

Payah: Antara FB, Identitas Pekerjaan, dan Hidung

Kan sudah saya janjikan kalau segera setelah saya menerima foto wisuda, saya akan membuat akun FB? Maka saya telah membuat akun di FB. Hanya saja, saya sedang amat kesal dengan FB. Memunggah foto ke FB ternyata tidak semudah yang saya kira. Di tengah-tengah memunggah, selalu saja windows browser saya menutup tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Sungguh menyebalkan. Betapa pun, ini akun yang saya janjikan.

Di lain cerita, saya telah bekerja. Namun demikian, kontrak antara saya dengan pihak perusahaan membuat saya tidak dapat menceritakan banyak tentang perusahaan ini kepada siapa-siapa (bahkan nama perusahaan tersebut sekalipun). Hal ini sehubungan dengan begitu ketatnya kode etik perusahaan untuk melindungi rahasia klien dan rahasia perusahaan itu sendiri. Terdengar seperti pekerjaan agen rahasia yang sedemikian glamor dan misterius? Percayalah, saya jauh dari keren untuk bisa menjadi seorang agen rahasia. Dan lagi, kemisteriusan justru lebih banyak merepotkan saya ketimbang membantu saya (dalam kehidupan percintaan, misalnya?). Begitu banyak dari kita tidak lantas dapat menerima kalau seseorang tidak menyebutkan nama perusahaan tempatnya bekerja. Saya tentu maklum. Saya sendiri akan heran seheran-herannya kalau seseorang sok merahasiakan pekerjaannya. Tapi percayalah, Para Pembaca Budiman, saya tidak hendak menutup-nutupi diri terhadap Anda (kecuali menutupi lemak saya, mungkin).

Selain beberapa kesusahan di atas,--maaf lo, ini curhat colongannya jadi keterusan--hidung saya tengah tidak bekerja dengan semestinya. Tenggorokan pun rasanya sakit sekali. Semoga kepayahan-kepayahan ini segera berlalu. Takutnya, saya akan lebih banyak mengeluh kepada Anda. Anda tentu tidak akan senang kalau cuma membaca kesulitan saya, bukan? Maka, bantu saya, Para Pembaca Budiman. Banyak-banyaklah berdoa bagi saya *muka tebal*. Terima kasih.

PS: Maaf kalau pendek. Saya kan sedang tidak sehat? Hehehe.

Sabtu, 16 Mei 2009

Status: Alumni


As a consequence towards my parents' trusts and belief invested in me, I attended my graduation ceremony this morning. I thank God Almighty to make my parents' dreams come true.

Regardless of flaws in the execution and the preparation of the ceremony, I would like to express my gratitude towards the graduation committee. I imagine that the task is both demanding and depressing. And to under-appreciate the hard work that has been done--therefore--is an insult towards my beliefs in dignity and integrity. Thus, I thank the committee of XV Graduation of Universitas Pelita Harapan. May God shows you His grace and blesses you.

I promised my peers to create a FB account right after my graduation. The promise, unfortunately, will not be delivered immediately as I am still waiting for my graduation pictures to be printed out this June. Even so, I am happy to announce that the promise WILL be executed as soon as I had the complete materials as stated.

Sabtu, 18 April 2009

Selamat Datang di Jakarta Raya!

Bagi Anda yang tidak tahu asal kalimat yang saya gunakan sebagai judul post kali ini, kalimat tersebut saya kutip dari lagu "Selamat Datang Pahlawan Muda" karya Ismail Marzuki. Bagi Anda yang tidak tahu siapa itu Ismail Marzuki, saya begitu dongkol terhadap Anda sedemikian rupa sehingga saya cuma bisa menyarankan Anda untuk sesegera mungkin melepaskan status Anda sebagai Warga Negara Indonesia atau (bila Anda keukeuh hendak mempertahankan kewarganegaraan tersebut tanpa rasa malu karena ketidaktahuan Anda akan Ismail Marzuki) segeralah google Ismail Marzuki. Semoga beruntung.

Kembali ke kalimat judul.

Sehubungan dengan status baru saya sebagai pengangguran, saya punya begitu banyak waktu yang bisa saya hambur-hamburkan. Meski demikian, status pengangguran tersebut juga datang dengan tanggungjawab dan kesusahan sendiri.

Status pengangguran, Saudara, secara otomatis menghapus kewajiban orang tua Anda untuk memberikan uang jajan. Sehingga, tidak etis rasanya bila Anda merengek-rengek (apalagi sampai guling-gulingan) untuk meminta uang dari orang tua. Status baru Anda sebagai seorang pengangguran mengharuskan Anda untuk sesegera mungkin menghidupi diri Anda sendiri dengan bekerja. Status yang sama juga memaksa Anda untuk tinggal di rumah manakala Anda kehabisan dana untuk membiayai kegiatan senang-senang Anda.

Maka, tinggallah saya di rumah beberapa minggu ini. Tidak keluar rumah barang sekali pun kecuali untuk ke gereja dan menjadi supir bagi ayah, ibu, dan adik saya. Dan karena kedua kegiatan tersebut jauh dari hobi saya (makan, tidur, jalan-jalan, baca buku, mendengar musik, mengeluh, dll.), maka saya tidak bisa mengkategorikan kegiatan-kegiatan tersebut sebagai "keluar rumah". Dengan kata lain, saya mengeram di rumah beberapa minggu ini.

Untunglah, Para Pembaca Budiman, saya berkesempatan untuk kembali menjalankan hobi saya kemarin ini. Orang tua saya agaknya jatuh iba melihat anak bujangnya tidak keluar ke mana-mana. Maka, tatkala saya meminta sedikit uang untuk berpergian melepas bosan, mereka dengan segera memberi saya uang (YES!). Saya pun kegirangan bak kuda nil liar yang baru lepas dari kandang. Keberuntungan yang lain, teman karib saya juga sedang tidak sibuk sesuatu apa. Sehingga, pria malang tersebut menyanggupi untuk menemani saya berjalan-jalan keesokan harinya.

Kami memang bukan tipe orang biasa yang dengan segera memilih pusat perbelanjaan sebagai tempat tujuan kami. Kami adalah orang-orang gila yang senang berpergian ke tempat-tempat tidak biasa bagi orang kelas menengah lainnya. Dan oleh karenanya, kami memutuskan untuk pergi ke Monas dan Museum Nasional. Bukan sekali ini saya berpergian dengan Beliau ke tempat aneh macam ini. Sebelumnya, kami pernah pergi ke Museum Bank Indonesia, Mangga dua, Blok M, Pasar Baru, dan tempat-tempat ajaib lainnya bersama-sama. Namun yang beda kali ini, adalah kenyataan bahwa saya berhasil membujuk Rezon untuk pergi bersama ke suatu tempat dengan mendadak. Praktik-praktik konvensional dalam berpergian dengan Rezon mensyaratkan adanya perjanjian berhari-hari di muka pertemuan. Hal ini tentu tidak lain supaya kami bisa menyiapkan waktu luang agar tidak terganggu dengan aktivitas lain.

Dan pergilah kami hari itu. Hari dimulai dengan perjalanan kami ke Museum Nasional. Sayangnya, Saudara, bentuk dokumentasi pribadi di Museum tersebut tidak diperbolehkan. Kecewa, memang. Namun, saya sendiri berpikiran kalau Anda memang akan lebih puas bila melihat koleksi Museum dengan biji mata sendiri. Saya terutama sangat kagum dengan koleksi gerabah dari Dinasti Han, Tang, Sung, dan Ming. Selain itu, saya juga senang sekali ketika berpapasan dengan patung anak lembu di pelataran Museum. Namun atraksi utama, Para Pembaca Budiman, terletak di lantai empat gedung baru Museum Nasional.

Saya baru sadar betul kalau Indonesia adalah negara yang kaya. Bukan, bukan dalam arti kiasan, namun dalam arti sebenarnya. Betapa tidak? Selain diisi dengan koleksi gerabah yang bernilai tinggi, lantai empat diisi dengan segala sesuatu yang terbuat dari logam mulia dan permata. Sebut saja mahkota raja-raja Jawa, keris pusaka, sampai mangkuk untuk upacara yang seutuhnya dibuat dari emas dan permata. Silau-sesilau-silaunya. Saya bertekad untuk membawa tetamu saya pada kesempatan lain ke lantai empat ini untuk menunjukkan tingkat kebudayaan bangsa sekaligus membantu upaya pemerintah untuk mengangkat martabat bangsa.

Keluar dari Museum, Rezon disambut "hangat" oleh kotoran burung lokal. Saya tentu saja tertawa terbahak-bahak dibuatnya. Saya memang sempat menghibur dengan kalimat "itu hoki itu". Tapi sesungguhnya, saya benar-benar tertawa di atas penderitaan pria malang satu itu.

Segera setelahnya, kami berpapasan dengan iring-iringan para pelayan negara beserta tetamu asing penting. Saya kesal karena para pelayan ini sebegitu angkuh sehingga melambai saja tidak. Padahal kan saya atasan mereka? Kan saya rakyat? Dan mereka pelayan rakyat? Bila saja saya mengetahui nomor telepon mereka, saya sendiri akan memecat mereka karena keangkuhan mereka tersebut. Tambah lagi, mereka dengan semena-mena memakan jalan raya. Termasuk jalan transjakarta lagi! Kan tidak mereka gunakan juga itu jalur busway? Maka apa gunanya menutup jalan transjakarta? Bila tidak dicegah Rezon, Saudara, saya sudah menimpuk mobil-mobil tersebut dengan batu karena kesalnya saya.

Tapi tak pentinglah itu. Kami meneruskan perjalanan kami menuju Monumen Nasional. Percayalah, Sosodara, setelah saya lahir, besar, dan hidup selama lebih dari 20 tahun di Jakarta Raya, baru pertama kali ini saya ke Monas. Begitu miris sebab ada idiom bagi orang luar Jakarta yang menyatakan kalau perjalanan ke Jakarta diragukan keabsahannya bila pelancong tersebut belum pergi ke Monas. Dan saya tidak sendiri. Ada begitu banyak orang Jakarta yang justru bernasib sama dengan saya (atau dalam hal ini, karena saya sudah sah pergi ke Jakarta: bernasib lebih buruk dari saya). Ada begitu banyak teman-teman se-Jakarta saya yang belum pernah pergi ke Monas. Maka saya menyelamatkan diri saya sendiri: "Selamat Datang di Jakarta Raya!" sambil melengkapi dengan kalimat banci, "Ke mana aja 21 tahun ini, Ciiiiin?"

Setelah berpanas-panasan di bawah matahari yang ganas hari itu, kami sampai juga di taman silang Monas. Yang unik, pintu masuk bangunan Monas ada di bawah tanah sehingga untuk masuk monas, kita perlu melewati terowongan bawah tanah. Baru setelah membayar loket, kita mulai masuk ke bagian terbawah Monas.

Di bagian bawah, Monas dilengkapi dengan diorama-diorama perjalanan sejarah Republik Indonesia. Positifnya, diorama-diorama ini tampak dramatis dengan detail-detail dan perspektif ruang yang baik. Negatifnya, beberapa diorama tampak gelap dan kurang kekinian.

Segera setelah puas melihat-lihat diorama, Anda akan naik ke puncak dengan naik lift dari dasar yoni Monas. Bagi saya yang pernah naik ke puncak KL Tower dengan cara yang sama, lift di Monas terasa sangat memakan waktu. Saya rasa, Anda bisa saja menyelesaikan satu set permainan catur jawa bersama teman Anda selama Anda berada di dalam lift tersebut. Tapi ada hal yang tidak KL Tower miliki: udara di ketinggian 137 meter. Tidak dibekali dengan kaca, Anda bisa melihat-lihat panorama Jakarta ditemani angin sore yang menyenangkan. Pandangan Anda meluas sejauh Mangga Dua di utara, dan Taman Anggrek di barat, atau Kelapa Gading di timur. Sungguh perasaan menenangkan yang jarang bisa ditemui di hiruk pikuk Jakarta.

Tanpa mau membuang waktu, kami meneruskan perjalanan ke taman di sekitar Monas (tentu setelah turun lift apa segala dong, ga mungkin lah kita orang loncat). Setelah bertemu dengan rusa tutul yang agung dan menawan, kami bertemu tantangan besar hari itu: bermeter-meter jalan refleksi. Jalan tersebut dipercaya bisa memperlancar metabolisme dan lain sebagainya (sehat intinya, gitu). Tapi kalau sehat bisa begitu menyakitkan, saya tidak heran kenapa banyak di antara kita memilih untuk tidak sehat. Kaki saya serasa ditusuk sampai ke tulang telapak oleh batu-batu jahanam itu! Rezon yang kurus itu saja sampai tidak kuat! Apalagi saya yang setengah sapi ini?! Untuk Anda yang berkaki kuat dan tidak bermasalah di jalan tersebut, saya menyalami Anda dengan beribu-ribu hormat.

Tapi sebelum saya sempat menyumpahi bangsa penemu metode ini, saya menemukan kegunaan lain jalan ini. Si jalan ternyata merupakan tempat tidur yang begitu nyaman. Di beberapa tempat, jalan tersebut disertai dengan gundukan-gundukan yang akan menopang punggung Anda dengan sangat nyaman. Serasa dipijat oleh ahli Shiatsu meski Anda tidak bergerak sama sekali. Ditambah teduhnya pohon-pohon rindang serta angin semilir, saya hampir-hampir tidak bisa bangun karena nyamannya.

Setelah menjalani setengah hari dengan cara yang tidak biasa, kami kembali ke kodrat kami sebagai kawula muda. Kami pergi ke Grand Indonesia untuk makan siang dan sekedar menghabiskan waktu sampai sore. Menu kami hari itu: pasta. Bukan sembarang pasta, tapi pasta dengan cita rasa Jepang.

Pernahkah ibu Anda mencoba membuat pasta? Ibu saya pernah. Dan seringkali, bila tidak disertai dengan pengawasan ketat dari saya, pasta tersebut akan berakhir dengan cita rasa chinese yang begitu kental. Alih-alih menjadi spaghetti bolognaise yang klasik, pasta yang dibuat ibu saya seringkali menjadi bakmi gurame saus asam manis tanpa gurame (baca: berantakan). Bukan berarti tidak enak. Tapi rasanya tidak otentik. Absurd.

Tapi yang ini lain, pasta kerang yang saya pesan masih memiliki rasa-rasa asam Italia. Tapi dengan sentuhan kegurihan dan kelembutan rasa asin Jepang. Aneh. Tapi dalam konteks yang baik. Semacam pengalaman out of the box yang Anda syukuri. Kerang yang dipakai juga dimasak dengan tepat waktu sehingga tingkat kematangan yang pas memastikan tidak ada bau amis seraya tetap menjaga tekstur daging kerang sehingga tidak alot ketika dimakan. Memang tidak se-al dente pasta pada restoran pasta favorit saya. Tapi saya rasa, tingkat kemembalan pasta yang semacam ini justru disukai orang Jepang. Kemembalan pasta ini hampir mirip dengan kemembalan udon. Sehingga, semakin komplit lah sentuhan Jepang pada pasta saya kemarin ini.


Yang patut disayangkan adalah tingkat pelayanan yang terlalu berlebihan, menurut saya. Mungkin terpengaruh dengan sifat restoran ini yang menganut sistem Jepang. Saya sendiri tidak nyaman ketika di tengah acara makan, saya didatangi pelayan dan lantas ditanyai rasa makanan tersebut. Dan saya rasa, tingkat pelayanan yang demikian menjadi salah satu faktor yang membuat makanan yang kami makan menjadi mahal. Bukan berarti saya merasa makanan kami kemarin ini overvalued. Saya merasa puas dengan kualitas makanan yang disediakan. Hanya saja, saya berani mengorbankan tingkat pelayanan terhadap saya kala itu untuk potongan harga (walau saya mau saja bila remeh temeh yang berlebihan itu dikurangi tanpa mendapat potongan harga--tapi toh bukankah kita semua lebih senang bila diberi potongan harga sebagai bonus?)

Secara keseluruhan, saya tidak berani merekomendasikan restoran yang sama bagi pecinta pasta sejati. Namun, saya pasti merekomendasikan restoran ini bila Anda adalah salah satu di antara kami: pemakan segala yang senang berpetualang. Tentu saja dengan peringatan "eat in moderation" sehubungan dengan harga makanan yang tidak besahabat dengan kantung mahasiswa.

Akhir kata, saya senang bisa jalan-jalan kemarin ini. Balas dendam saya terbayar sudah. Tinggal sekarang saya mengurut-urut kaki karena jatah berjalan kaki selama sebulan sudah saya pakai untuk berjalan kaki seharian kemarin ini. Hehehe.

P.S.: Anda juga dapat membaca pengalaman jalan-jalan saya kemarin ini dari perspektif berbeda. Rezon juga menulis acara jalan-jalan kami di sini.

Kamis, 16 April 2009

Travelogue part I

This year's cheng beng festival is different from the other years I had before. In most events, I would've torn between going to my mother's side of family or my father's side of family due to lack of time. But now that i'm unemployed, this year cheng beng for me would be a rally to both side of the family.


But no, I wouldn't talk much about the culture, the traditions, and the rituals involved in such festival. In fact, what I have done might have easily been imitated by any unemployed dudes out there at any time of the year. I, my friends, will judge both town by it's travel conveniences and food.

Lemme explain how it works first. As I was born in Jakarta, my mother's and grandparent's hometown will be considered as my hometown. Being raised in a small island right between Sumatra and Singapore, my mother took the town of Selatpanjang as her hometown. On the other hand, as my father was brought up in the capital city, we have to take my grandparents' dearest hometown of Padang.

And so, to begin my tour, I would go from Jakarta to Pekanbaru, cross the river and straits to Selatpanjang, come back to Pekanbaru the very next day, and go to Padang the very following day by car.

As that being told, we will grade Selatpanjang first. My journey to Selatpanjang is daunting and exhausting. Not only that I have to take the first flight to Pekanbaru, I also had to struggle with the fact that the journey had to use 2 small fiber motor powered boats and a non-air conditioned bus. The trip took at least 3 hours of patience and a lot of energy since you would expectantly sweat like a pig. The most convenient alternative to this is to travel to Selatpanjang via Batam. Though it is more expensive, the convenience level simply worth every extra penny you paid.

The struggle however is paid very well. I started my food fiesta with a local favorite: "miso" or soup noodle. The density of the slow-cooked cow bones stock simply captivate everyone who tried it. Just a glance of it's aroma could trigger my appetite at any time. The amount of chicken and noodle is just enough to make you crave for more.

In the same stall, I ordered fried rice. The national "everybody likes it" food. What's so different you might ask. I say it won't be able to beat the legendary "kebon sirih" heavily spiced up fried rice. But what's good about it is how lean it is. It's just dry instead of oily as you would expect from a regular fried rice. So it fill you up with simple lean taste. Tasty yet lean.


The next is a convenient version of fear factor: the mangrove scorpion (or as local would refer as "macao hey"). I failed to gather information about this specific species of crustacean. But I myself like to call it scorpion due to it's physical resemblance to a typical everyday scorpion. Macao hey is cooked with a perfect sauce of tomato sauce, chili, pineapple, hefty amount of oil and grind peanuts. The results is this uniquely sweet and spicy flavor of a grotesque looking seafood. The crablike meat of macao hey perfectly match the sauce. As you dip the meat for extra gravy, it instantly suck the goodness of the sauce and enriched the already flavor-infiltrated meat. The extra thin layer of shell makes everybody an expert in eating it. I mean, face it, not everybody can crack a crab open with his teeth. But macao hey? Sure can do! So if you have the gut to eat something "out of the box", macao hey is a good option for you. To me, it's simply irresistible. No matter how hard I tried to find it though, I simply can't find the particular species being cooked in such a way outside Selatpanjang. Hence, macao hey is a rare delicacy.

The dinner was then topped with a homey hot dessert. It's a sweet peanut soup with churros that has a consistency of a doughnut. Respectively, these two are called tao lin teng and cakwe. It is served while hot and match together. Cakwe can pretty much be found in almost every major city in Indonesia. It's mild salty taste made it popular among coffee lover. Though I must say, it is hard to find cakwe with such crispy outer layer and soft doughnut inside as would've been offerred by Selatpanjang's Cakwe. Just as rare to find a tao lin teng being sold outside Sumatra. Somehow, tao lin teng did not receive the warm embrace by various tounge of Indonesians as what cakwe had received. My theory is that tao lin teng is outfamed by coffee.


The journey to Selatpanjang--no matter how gastronomically pleasant--wouldn't be complete without a warm hearty breakfast. I believe that this place has the best wanton noodle. It's not only because of the fact that it's hand-made and al dente. It's not because it's mild salty flavor topped by a vague dash of bitterness. It's not because it's various chunks of porkballs. Nor it's soy sauce that brings the whole aroma to a subtle fragrant.


What catch my heart from the wonton noodle is the sophisticated package of all that bring together a warm meal. Though it might sounds complicated, the actual taste of the noodle is simple. This simplicity, however, would be ruined had one of the ingridients is missing. So, at least in my opinion, IT IS "rocket science".

tes-tes-tes

Waktu ngaskus beberapa menit yang lalu, gua dapet url yang menarik. Di thread tersebut, ada pranala ke tes grammar gitu2. Seru juga. Setelah sekian lama ga ngerjain tes, gua merasa tes yang kayak gini cukup menyegarkan. Just nice. Berikut hasil gua:


lumayaaaan dari 50 pertanyaan, gua bisa jawab 47 dengan bener. Ternyata gua ga bego-bego amat. Jyahaha.

Kasih tau hasil-hasil lu orang ya? Cheers!

Sabtu, 14 Maret 2009

I Believe In Little Things

I stumbled upon this video just now. And I wept. The lyrics just blew me away. The notes are uncommonly magical. Bravo, the late Mr. Raposo! May you rest in peace.



(I Believe In) Little Things

Written by Joe Raposo

I believe in little things
That you can hardly see
Like honeycomb and spider webs
And starfish in the sea

I believe in little things
Like icy drops of rain
That melt into the morning mist
When winds blow warm again

I believe in little things
Like colors in the sky
And noticing the waves roll in
And how the flowers die

Knowing they'll come back again
Whenever it's July

I believe in little things
Like you and me
And just how big
Little things can be

Senin, 23 Februari 2009

My Japanese Name

Waktu itu gua pernah bikin nama Jepang pake name generator di blogthings.com. Cuma tuh nama bisa berubah2x. Jadi quite irrelevant aja buat gua. Sekarang, gua ketemu name generator yang lebih konsisten. Dan gua cukup seneng dengan nama Jepang gua. Meaningful. Ohoho...

My authentic japanese name is 吉澤 Yoshizawa (lucky swamp) 大輝 Taiki (large radiance).
Take your real japanese name generator! today!
Created with Rum and Monkey's Name Generator Generator.




P.S. Special thx for Rum and Monkey.

Jumat, 20 Februari 2009

Digoyang, Bang...

Kesalahan bukan pada Sodara. Saya yang males. Saya yang sibuk *sok sibuk*. Saya sudah menyelesaikan sidang saya. Meski tak tahu nilai berapa yang diberikan, tapi saya lulus (PUJI TUHAAAAAAAN).


Sehubungan dengan kelulusan tersebut, menurut saya, salah satu faktor yang berperan penting dalam kelulusan saya adalah salah satu wahana Dufan yang bernama Tornado. Jangan heran. Saya punya argumennya.

Kesalahan paling umum yang ditemukan di banyak mahasiswa yang akan sidang adalah terlalu seriusnya mereka sedemikian rupa sehingga mereka gugup tiada tara. Saya beruntung karena mendapat pencerahan untuk melaksanakan tujuan mulia ini dengan pendekatan yang berbeda. Beberapa hari sebelum saya disidang oleh panel penguji, saya pergi ke Dufan bersama teman senasib saya serta adik dan tamu saya. Sang tamu serta adik saya tentu saja tak bernyali cukup besar untuk naik Tornado. Tapi saya dan teman saya, dua makhluk putus asa saat itu, sudah tidak begitu peduli lagi akan keselamatan kami berdua. Sehingga, segala rumor miring tentang Tornado dan wejangan dari orang tua untuk tidak naik wahana tersebut tidak nyangkut di akal sehat kami.

Maka, naiklah kami. Sepanjang perjalanan yang begitu provokatif tersebut, saya merasa seperti dibanting-banting. Saya seperti diangkat tinggi ke atas bak emas yang baru ditemukan orang untuk lantas dihempaskan sejauh tiga belas lantai ke tanah karena orang tersebut baru sadar kalo "emas"-nya itu tak lebih dari (maaf) kotoran sapi yang masih hangat. Saya lantas diputar-putar hebat. Kaki saya akan melambai-lambai. Dan tak heranlah bila saya kerap kehilangan orientasi arah atas dan bawah selama beberapa saat. Kalau bisa saya definisikan pengalaman tersebut dalam satu kata, saya akan menggunakan istilah Jawa modern yang populer: "SUUUUUUEEEEEEEEERU TENAN!"

Seperti yang dapat Anda lihat di bawah, saya masih bisa bercakap-cakap dengan teman saya seakan tidak terjadi apa-apa. Percayalah, Sodara, bahwa ini adalah reaksi yang lazim bagi orang-orang putus asa yang sudah benar-benar berserah akan hidup dan matinya. Kalo masih idup ya sidaaaaang, kalo ga ya udah.


Maka tatkala si operator bertanya "Mau lagi?!", saya yang heran kenapa masih hidup, lantas berteriak, "Lagiii..." dengan gaya lebay luar biasa. Celakanya, operator ini tidak menyadari usaha bunuh diri yang saya lakukan. Beliau pun menurut saja dan kami mendapat sesi tambahan yang lebih gila dan lebih sadis dari sesi sebelumnya. Saya tentu tidak berani menunjukkan sesi-sesi berikutnya tersebut dengan alasan keamanan kita bersama. Takut ada yang buta melihat sapi gila diputer-puter: saya.

Sayangnya, setelah sesi kedua berakhir pun, saya masih hidup. Percayalah, saya sudah berusaha dan berteriak sekuat tenaga untuk membujuk rayu si operator untuk kembali memutar saya. Tapi karena ada salah satu dari rombongan yang hampir pingsan, sesi kami diberhentikan. Payah.

Jadilah saya, ketika menghadapi sidang, sudah tak berurat takut lagi. Ngomong aja gitu seakan tak masalah acara apa dan siapa yang sedang saya hadapi saat itu.

Tentu hasil ini bervariasi pada tiap orang. Teman saya yang lain ketika saya sarankan untuk naik Tornado sebelum Beliau sidang malah menjawab "Lebih baik gua sidang lima kali!", sehingga hipotesis saya, tidak semua orang bisa melakukan hal ini. Kesimpulannya, don't try this stupid advice lah!

Minggu, 18 Januari 2009

Almost There...

Tidak, Para Pembaca Budiman, tidak. Saya tidak mati. Saya hanya sibuk sampai tidak sempat mengabari Anda.

Dan tidak, sampai sekarang pun saya belum ada waktu untuk menulis proper post.

Maka, maaf, Para Pembaca Budiman, kalo beberapa dari Anda ada yang khawatir (pleeeeaaaaase, ada dooooong *desperate blogger*).

Ini, Sosodara, saya copy-paste-kan pos-el saya ke Rezon. This should explain everything. Semoga Rezon tak berkeberatan. Hehehe.

And it goes:
"Hari senen kemaren gua baru pra-sidang (sidang dengan satu orang penguji). Nah, itu gua sukses. Begini, menurut praktik-praktik konvensional, pra-sidang itu yang nyidangin si dosen pembimbing skripsi. Tapi, sehubungan dosen pembimbing gua merangkap sebagai kepala jurusan dan dosen pembimbing akademik bagi banyak orang, maka Beliau ga bisa nyidangin gua sehubungan dengan waktu pra-sidang yang bersamaan dengan minggu batal-tambah. Yang ada, sang kepala jurusan akhirnya menyerahkan nasib anak-anak bimbingannya ke dua orang dosen lain. Yang satu adalah dosen muda yang jayus dan ngajar pengantar ekonomi dan matematika I, yang satu lagi dosen yang agak lebih dewasa dengan status sebagai dosen baru pengajar statistika multivariat. Dan karena skripsi anak-anak keuangan sama sekali bergantung pada statistika, gua sebenarnya akan merasa lebih senang bila disidang oleh dosen muda pengajar pengantar ekonomi (selanjutnya disebut sebagai DMPPE).

Maka pada hari terakhir pengumpulan naskah skripsi, gua membuntut di belakang sang kepala jurusan macam bebek turut induknya untuk mengetahui pihak mana yang cukup sial untuk menyidang anak tak tahu diri ini: gua. Tujuannya adalah bertanya tanggal dan jam berapa gua akan disidang. Tapi memang untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, sang kepala jurusan menaruh naskah gua di meja dosen statistika (saat itu terdengarlah suara jeritan hati gua, "TIDA~~~K!). Sialnya, gua disidang hari Senin jam 8 pagi. Hari pertama, pada jam pertama.

Hari minggu gua benar-benar berserah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di gereja, muka gua udah muka yang paling pucet. Si pendeta juga khotbah dengan berapi-api lagi. Gua jadi semakin keringet dingin.

Hari senin datang. Gua bangun jam 5 pagi sangking takut telat. Bawa mobil juga udah kayak orang kesurupan. Setengah takut dan setengah sadar. Begitu sampai di kampus, gua langsung tanya ruangan sama orang TU. Lantas gua pun pergi ke ruangan gua. Yang heboh, begitu gua duduk bersandar pada kursi, papan tulis di belakang gua patah. Gua pun akhirnya panik. Setelah beberapa menit kocar-kacir, gua mengimani kalo kejadian itu adalah kesialan gua terakhir hari itu. Si penguji masuk.

Setelah setengah jam berjibaku dan mempresentasikan "konsentrasi hidup gua selama 6 bulan--bila tidak lebih--ini", keputusan pun tiba. Gua ga usah revisi skripsi selain kesalahan-kesalahan ketik di sana-sini (napas lega). Gua diminta memotong durasi presentasi (emang panjang banget sih rasanya, gua kayak udah siap masuk sekolah pendeta begitu. Jyahaha). Dan terakhir, komentar pribadi si penguji mengangkat percaya diri gua, "Kamu lulus sih pasti lulus. Cuma masalahnya lulus dengan nilai 'A' atau 'A-'" (OH YA BAPA, AMI~~~N, YA TUHAN, AMI~~~N).

Setelahnya, gua lega. Setelah nonton pra-sidang orang, gua berkesimpulan kalo ternyata memang lebih baik disidangin ama dosen statistik ini. Biar pertanyaannya kelas berat, si dosen tidak begitu peduli masalah-masalah sepele seperti yang diperhatikan oleh DMPPE. Tuhan emang bekerja dengan cara yang ga pernah gua duga. Ohoho. Maka, kerjaan gua sekarang adalah ngisi-ngisi form administrasi untuk bercerai dengan universitas ini secara baik-baik. Kalo berjalan dengan baik, Rabu ini urusan administrasi gua selesain. Tanggal sidang sendiri masih belum pasti. Menunggu penyesuaian jadwal dan lain sebagainya. Jatoh-jatohnya mungkin antara 2 sampai 21 Februari ini."

Doakan saya, Para Pembaca Budiman. Sekian dan terima kasih.

blogger templates | Make Money Online