Sabtu, 18 April 2009

Selamat Datang di Jakarta Raya!

Bagi Anda yang tidak tahu asal kalimat yang saya gunakan sebagai judul post kali ini, kalimat tersebut saya kutip dari lagu "Selamat Datang Pahlawan Muda" karya Ismail Marzuki. Bagi Anda yang tidak tahu siapa itu Ismail Marzuki, saya begitu dongkol terhadap Anda sedemikian rupa sehingga saya cuma bisa menyarankan Anda untuk sesegera mungkin melepaskan status Anda sebagai Warga Negara Indonesia atau (bila Anda keukeuh hendak mempertahankan kewarganegaraan tersebut tanpa rasa malu karena ketidaktahuan Anda akan Ismail Marzuki) segeralah google Ismail Marzuki. Semoga beruntung.

Kembali ke kalimat judul.

Sehubungan dengan status baru saya sebagai pengangguran, saya punya begitu banyak waktu yang bisa saya hambur-hamburkan. Meski demikian, status pengangguran tersebut juga datang dengan tanggungjawab dan kesusahan sendiri.

Status pengangguran, Saudara, secara otomatis menghapus kewajiban orang tua Anda untuk memberikan uang jajan. Sehingga, tidak etis rasanya bila Anda merengek-rengek (apalagi sampai guling-gulingan) untuk meminta uang dari orang tua. Status baru Anda sebagai seorang pengangguran mengharuskan Anda untuk sesegera mungkin menghidupi diri Anda sendiri dengan bekerja. Status yang sama juga memaksa Anda untuk tinggal di rumah manakala Anda kehabisan dana untuk membiayai kegiatan senang-senang Anda.

Maka, tinggallah saya di rumah beberapa minggu ini. Tidak keluar rumah barang sekali pun kecuali untuk ke gereja dan menjadi supir bagi ayah, ibu, dan adik saya. Dan karena kedua kegiatan tersebut jauh dari hobi saya (makan, tidur, jalan-jalan, baca buku, mendengar musik, mengeluh, dll.), maka saya tidak bisa mengkategorikan kegiatan-kegiatan tersebut sebagai "keluar rumah". Dengan kata lain, saya mengeram di rumah beberapa minggu ini.

Untunglah, Para Pembaca Budiman, saya berkesempatan untuk kembali menjalankan hobi saya kemarin ini. Orang tua saya agaknya jatuh iba melihat anak bujangnya tidak keluar ke mana-mana. Maka, tatkala saya meminta sedikit uang untuk berpergian melepas bosan, mereka dengan segera memberi saya uang (YES!). Saya pun kegirangan bak kuda nil liar yang baru lepas dari kandang. Keberuntungan yang lain, teman karib saya juga sedang tidak sibuk sesuatu apa. Sehingga, pria malang tersebut menyanggupi untuk menemani saya berjalan-jalan keesokan harinya.

Kami memang bukan tipe orang biasa yang dengan segera memilih pusat perbelanjaan sebagai tempat tujuan kami. Kami adalah orang-orang gila yang senang berpergian ke tempat-tempat tidak biasa bagi orang kelas menengah lainnya. Dan oleh karenanya, kami memutuskan untuk pergi ke Monas dan Museum Nasional. Bukan sekali ini saya berpergian dengan Beliau ke tempat aneh macam ini. Sebelumnya, kami pernah pergi ke Museum Bank Indonesia, Mangga dua, Blok M, Pasar Baru, dan tempat-tempat ajaib lainnya bersama-sama. Namun yang beda kali ini, adalah kenyataan bahwa saya berhasil membujuk Rezon untuk pergi bersama ke suatu tempat dengan mendadak. Praktik-praktik konvensional dalam berpergian dengan Rezon mensyaratkan adanya perjanjian berhari-hari di muka pertemuan. Hal ini tentu tidak lain supaya kami bisa menyiapkan waktu luang agar tidak terganggu dengan aktivitas lain.

Dan pergilah kami hari itu. Hari dimulai dengan perjalanan kami ke Museum Nasional. Sayangnya, Saudara, bentuk dokumentasi pribadi di Museum tersebut tidak diperbolehkan. Kecewa, memang. Namun, saya sendiri berpikiran kalau Anda memang akan lebih puas bila melihat koleksi Museum dengan biji mata sendiri. Saya terutama sangat kagum dengan koleksi gerabah dari Dinasti Han, Tang, Sung, dan Ming. Selain itu, saya juga senang sekali ketika berpapasan dengan patung anak lembu di pelataran Museum. Namun atraksi utama, Para Pembaca Budiman, terletak di lantai empat gedung baru Museum Nasional.

Saya baru sadar betul kalau Indonesia adalah negara yang kaya. Bukan, bukan dalam arti kiasan, namun dalam arti sebenarnya. Betapa tidak? Selain diisi dengan koleksi gerabah yang bernilai tinggi, lantai empat diisi dengan segala sesuatu yang terbuat dari logam mulia dan permata. Sebut saja mahkota raja-raja Jawa, keris pusaka, sampai mangkuk untuk upacara yang seutuhnya dibuat dari emas dan permata. Silau-sesilau-silaunya. Saya bertekad untuk membawa tetamu saya pada kesempatan lain ke lantai empat ini untuk menunjukkan tingkat kebudayaan bangsa sekaligus membantu upaya pemerintah untuk mengangkat martabat bangsa.

Keluar dari Museum, Rezon disambut "hangat" oleh kotoran burung lokal. Saya tentu saja tertawa terbahak-bahak dibuatnya. Saya memang sempat menghibur dengan kalimat "itu hoki itu". Tapi sesungguhnya, saya benar-benar tertawa di atas penderitaan pria malang satu itu.

Segera setelahnya, kami berpapasan dengan iring-iringan para pelayan negara beserta tetamu asing penting. Saya kesal karena para pelayan ini sebegitu angkuh sehingga melambai saja tidak. Padahal kan saya atasan mereka? Kan saya rakyat? Dan mereka pelayan rakyat? Bila saja saya mengetahui nomor telepon mereka, saya sendiri akan memecat mereka karena keangkuhan mereka tersebut. Tambah lagi, mereka dengan semena-mena memakan jalan raya. Termasuk jalan transjakarta lagi! Kan tidak mereka gunakan juga itu jalur busway? Maka apa gunanya menutup jalan transjakarta? Bila tidak dicegah Rezon, Saudara, saya sudah menimpuk mobil-mobil tersebut dengan batu karena kesalnya saya.

Tapi tak pentinglah itu. Kami meneruskan perjalanan kami menuju Monumen Nasional. Percayalah, Sosodara, setelah saya lahir, besar, dan hidup selama lebih dari 20 tahun di Jakarta Raya, baru pertama kali ini saya ke Monas. Begitu miris sebab ada idiom bagi orang luar Jakarta yang menyatakan kalau perjalanan ke Jakarta diragukan keabsahannya bila pelancong tersebut belum pergi ke Monas. Dan saya tidak sendiri. Ada begitu banyak orang Jakarta yang justru bernasib sama dengan saya (atau dalam hal ini, karena saya sudah sah pergi ke Jakarta: bernasib lebih buruk dari saya). Ada begitu banyak teman-teman se-Jakarta saya yang belum pernah pergi ke Monas. Maka saya menyelamatkan diri saya sendiri: "Selamat Datang di Jakarta Raya!" sambil melengkapi dengan kalimat banci, "Ke mana aja 21 tahun ini, Ciiiiin?"

Setelah berpanas-panasan di bawah matahari yang ganas hari itu, kami sampai juga di taman silang Monas. Yang unik, pintu masuk bangunan Monas ada di bawah tanah sehingga untuk masuk monas, kita perlu melewati terowongan bawah tanah. Baru setelah membayar loket, kita mulai masuk ke bagian terbawah Monas.

Di bagian bawah, Monas dilengkapi dengan diorama-diorama perjalanan sejarah Republik Indonesia. Positifnya, diorama-diorama ini tampak dramatis dengan detail-detail dan perspektif ruang yang baik. Negatifnya, beberapa diorama tampak gelap dan kurang kekinian.

Segera setelah puas melihat-lihat diorama, Anda akan naik ke puncak dengan naik lift dari dasar yoni Monas. Bagi saya yang pernah naik ke puncak KL Tower dengan cara yang sama, lift di Monas terasa sangat memakan waktu. Saya rasa, Anda bisa saja menyelesaikan satu set permainan catur jawa bersama teman Anda selama Anda berada di dalam lift tersebut. Tapi ada hal yang tidak KL Tower miliki: udara di ketinggian 137 meter. Tidak dibekali dengan kaca, Anda bisa melihat-lihat panorama Jakarta ditemani angin sore yang menyenangkan. Pandangan Anda meluas sejauh Mangga Dua di utara, dan Taman Anggrek di barat, atau Kelapa Gading di timur. Sungguh perasaan menenangkan yang jarang bisa ditemui di hiruk pikuk Jakarta.

Tanpa mau membuang waktu, kami meneruskan perjalanan ke taman di sekitar Monas (tentu setelah turun lift apa segala dong, ga mungkin lah kita orang loncat). Setelah bertemu dengan rusa tutul yang agung dan menawan, kami bertemu tantangan besar hari itu: bermeter-meter jalan refleksi. Jalan tersebut dipercaya bisa memperlancar metabolisme dan lain sebagainya (sehat intinya, gitu). Tapi kalau sehat bisa begitu menyakitkan, saya tidak heran kenapa banyak di antara kita memilih untuk tidak sehat. Kaki saya serasa ditusuk sampai ke tulang telapak oleh batu-batu jahanam itu! Rezon yang kurus itu saja sampai tidak kuat! Apalagi saya yang setengah sapi ini?! Untuk Anda yang berkaki kuat dan tidak bermasalah di jalan tersebut, saya menyalami Anda dengan beribu-ribu hormat.

Tapi sebelum saya sempat menyumpahi bangsa penemu metode ini, saya menemukan kegunaan lain jalan ini. Si jalan ternyata merupakan tempat tidur yang begitu nyaman. Di beberapa tempat, jalan tersebut disertai dengan gundukan-gundukan yang akan menopang punggung Anda dengan sangat nyaman. Serasa dipijat oleh ahli Shiatsu meski Anda tidak bergerak sama sekali. Ditambah teduhnya pohon-pohon rindang serta angin semilir, saya hampir-hampir tidak bisa bangun karena nyamannya.

Setelah menjalani setengah hari dengan cara yang tidak biasa, kami kembali ke kodrat kami sebagai kawula muda. Kami pergi ke Grand Indonesia untuk makan siang dan sekedar menghabiskan waktu sampai sore. Menu kami hari itu: pasta. Bukan sembarang pasta, tapi pasta dengan cita rasa Jepang.

Pernahkah ibu Anda mencoba membuat pasta? Ibu saya pernah. Dan seringkali, bila tidak disertai dengan pengawasan ketat dari saya, pasta tersebut akan berakhir dengan cita rasa chinese yang begitu kental. Alih-alih menjadi spaghetti bolognaise yang klasik, pasta yang dibuat ibu saya seringkali menjadi bakmi gurame saus asam manis tanpa gurame (baca: berantakan). Bukan berarti tidak enak. Tapi rasanya tidak otentik. Absurd.

Tapi yang ini lain, pasta kerang yang saya pesan masih memiliki rasa-rasa asam Italia. Tapi dengan sentuhan kegurihan dan kelembutan rasa asin Jepang. Aneh. Tapi dalam konteks yang baik. Semacam pengalaman out of the box yang Anda syukuri. Kerang yang dipakai juga dimasak dengan tepat waktu sehingga tingkat kematangan yang pas memastikan tidak ada bau amis seraya tetap menjaga tekstur daging kerang sehingga tidak alot ketika dimakan. Memang tidak se-al dente pasta pada restoran pasta favorit saya. Tapi saya rasa, tingkat kemembalan pasta yang semacam ini justru disukai orang Jepang. Kemembalan pasta ini hampir mirip dengan kemembalan udon. Sehingga, semakin komplit lah sentuhan Jepang pada pasta saya kemarin ini.


Yang patut disayangkan adalah tingkat pelayanan yang terlalu berlebihan, menurut saya. Mungkin terpengaruh dengan sifat restoran ini yang menganut sistem Jepang. Saya sendiri tidak nyaman ketika di tengah acara makan, saya didatangi pelayan dan lantas ditanyai rasa makanan tersebut. Dan saya rasa, tingkat pelayanan yang demikian menjadi salah satu faktor yang membuat makanan yang kami makan menjadi mahal. Bukan berarti saya merasa makanan kami kemarin ini overvalued. Saya merasa puas dengan kualitas makanan yang disediakan. Hanya saja, saya berani mengorbankan tingkat pelayanan terhadap saya kala itu untuk potongan harga (walau saya mau saja bila remeh temeh yang berlebihan itu dikurangi tanpa mendapat potongan harga--tapi toh bukankah kita semua lebih senang bila diberi potongan harga sebagai bonus?)

Secara keseluruhan, saya tidak berani merekomendasikan restoran yang sama bagi pecinta pasta sejati. Namun, saya pasti merekomendasikan restoran ini bila Anda adalah salah satu di antara kami: pemakan segala yang senang berpetualang. Tentu saja dengan peringatan "eat in moderation" sehubungan dengan harga makanan yang tidak besahabat dengan kantung mahasiswa.

Akhir kata, saya senang bisa jalan-jalan kemarin ini. Balas dendam saya terbayar sudah. Tinggal sekarang saya mengurut-urut kaki karena jatah berjalan kaki selama sebulan sudah saya pakai untuk berjalan kaki seharian kemarin ini. Hehehe.

P.S.: Anda juga dapat membaca pengalaman jalan-jalan saya kemarin ini dari perspektif berbeda. Rezon juga menulis acara jalan-jalan kami di sini.

Kamis, 16 April 2009

Travelogue part I

This year's cheng beng festival is different from the other years I had before. In most events, I would've torn between going to my mother's side of family or my father's side of family due to lack of time. But now that i'm unemployed, this year cheng beng for me would be a rally to both side of the family.


But no, I wouldn't talk much about the culture, the traditions, and the rituals involved in such festival. In fact, what I have done might have easily been imitated by any unemployed dudes out there at any time of the year. I, my friends, will judge both town by it's travel conveniences and food.

Lemme explain how it works first. As I was born in Jakarta, my mother's and grandparent's hometown will be considered as my hometown. Being raised in a small island right between Sumatra and Singapore, my mother took the town of Selatpanjang as her hometown. On the other hand, as my father was brought up in the capital city, we have to take my grandparents' dearest hometown of Padang.

And so, to begin my tour, I would go from Jakarta to Pekanbaru, cross the river and straits to Selatpanjang, come back to Pekanbaru the very next day, and go to Padang the very following day by car.

As that being told, we will grade Selatpanjang first. My journey to Selatpanjang is daunting and exhausting. Not only that I have to take the first flight to Pekanbaru, I also had to struggle with the fact that the journey had to use 2 small fiber motor powered boats and a non-air conditioned bus. The trip took at least 3 hours of patience and a lot of energy since you would expectantly sweat like a pig. The most convenient alternative to this is to travel to Selatpanjang via Batam. Though it is more expensive, the convenience level simply worth every extra penny you paid.

The struggle however is paid very well. I started my food fiesta with a local favorite: "miso" or soup noodle. The density of the slow-cooked cow bones stock simply captivate everyone who tried it. Just a glance of it's aroma could trigger my appetite at any time. The amount of chicken and noodle is just enough to make you crave for more.

In the same stall, I ordered fried rice. The national "everybody likes it" food. What's so different you might ask. I say it won't be able to beat the legendary "kebon sirih" heavily spiced up fried rice. But what's good about it is how lean it is. It's just dry instead of oily as you would expect from a regular fried rice. So it fill you up with simple lean taste. Tasty yet lean.


The next is a convenient version of fear factor: the mangrove scorpion (or as local would refer as "macao hey"). I failed to gather information about this specific species of crustacean. But I myself like to call it scorpion due to it's physical resemblance to a typical everyday scorpion. Macao hey is cooked with a perfect sauce of tomato sauce, chili, pineapple, hefty amount of oil and grind peanuts. The results is this uniquely sweet and spicy flavor of a grotesque looking seafood. The crablike meat of macao hey perfectly match the sauce. As you dip the meat for extra gravy, it instantly suck the goodness of the sauce and enriched the already flavor-infiltrated meat. The extra thin layer of shell makes everybody an expert in eating it. I mean, face it, not everybody can crack a crab open with his teeth. But macao hey? Sure can do! So if you have the gut to eat something "out of the box", macao hey is a good option for you. To me, it's simply irresistible. No matter how hard I tried to find it though, I simply can't find the particular species being cooked in such a way outside Selatpanjang. Hence, macao hey is a rare delicacy.

The dinner was then topped with a homey hot dessert. It's a sweet peanut soup with churros that has a consistency of a doughnut. Respectively, these two are called tao lin teng and cakwe. It is served while hot and match together. Cakwe can pretty much be found in almost every major city in Indonesia. It's mild salty taste made it popular among coffee lover. Though I must say, it is hard to find cakwe with such crispy outer layer and soft doughnut inside as would've been offerred by Selatpanjang's Cakwe. Just as rare to find a tao lin teng being sold outside Sumatra. Somehow, tao lin teng did not receive the warm embrace by various tounge of Indonesians as what cakwe had received. My theory is that tao lin teng is outfamed by coffee.


The journey to Selatpanjang--no matter how gastronomically pleasant--wouldn't be complete without a warm hearty breakfast. I believe that this place has the best wanton noodle. It's not only because of the fact that it's hand-made and al dente. It's not because it's mild salty flavor topped by a vague dash of bitterness. It's not because it's various chunks of porkballs. Nor it's soy sauce that brings the whole aroma to a subtle fragrant.


What catch my heart from the wonton noodle is the sophisticated package of all that bring together a warm meal. Though it might sounds complicated, the actual taste of the noodle is simple. This simplicity, however, would be ruined had one of the ingridients is missing. So, at least in my opinion, IT IS "rocket science".

tes-tes-tes

Waktu ngaskus beberapa menit yang lalu, gua dapet url yang menarik. Di thread tersebut, ada pranala ke tes grammar gitu2. Seru juga. Setelah sekian lama ga ngerjain tes, gua merasa tes yang kayak gini cukup menyegarkan. Just nice. Berikut hasil gua:


lumayaaaan dari 50 pertanyaan, gua bisa jawab 47 dengan bener. Ternyata gua ga bego-bego amat. Jyahaha.

Kasih tau hasil-hasil lu orang ya? Cheers!

blogger templates | Make Money Online