Selasa, 09 Desember 2008

Halo...

Lama tak bersua. Maaf lama tak memberi kabar pada Anda. Apa kabar? Akhir-akhir ini saya dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang kurang nyaman akan mendekatnya tenggat waktu pengumpulan skripsi saya. Ada begitu banyak hal yang masih belum saya selesaikan. Semoga Tuhan mengasihani saya dan menguatkan saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Tentu saja bila Tuhan tidak berkeberatan. Toh hanya rencana Beliau lah yang harus jadi: bukan rencana saya.

Setelah saya menyelesaikan kelas terakhir saya Jumat lalu, saya masuk ke masa minggu tenang. Minggu depan, ujian akhir semester terakhir menanti. Lagi-lagi, bukan itu kekhawatiran saya yang utama. Tenggat waktu skripsi lah yang sekarang menjadi momok.

Praktis, segera setelah UAS nanti, urusan saya dengan universitas tinggal skripsi dan wisuda. Lain-lain dari itu tidak. Kalau ditanya apa perasaan saya? Saya merasa senang. Akhirnya saya bisa melewati pendidikan sejauh ini. Entah akan saya teruskan atau tidak (saya masih berharap akan meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi). Yang jelas, selama lima belas setengah tahun saya sudah bersekolah tanpa henti. Jadi, boleh lah saya berkerja dan menikmati dunia yang sama sekali berbeda dari dunia saya selama ini.

Yang paling lucu dari menyelesaikan kelas terakhir saya adalah perasaan bingung. Bingung akan apa selanjutnya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya tidak punya kepastian akan melanjutkan hidup di institusi mana. Seperti kebanyakan anak kelas menengah seperti saya, seumur hidup, kami menghabiskan waktu di institusi-institusi pendidikan formal. Saya sendiri beruntung selalu memiliki kepastian akan institusi selanjutnya bahkan sebelum saya lulus dari institusi sebelumnya (sudah diterima di Sekolah Dasar saat belum lulus TK, dan seterusnya). Sekarang, di ujung masa studi saya di universitas, saya tidak memiliki institusi pasti untuk meneruskan kegiatan belajar. Maka bingung lah saya.

Sebenarnya, saya sudah memastikan diri untuk bekerja. Namun, bekerja kali ini sebenarnya bukan untuk kerja. Artinya, pekerjaan saya kali ini saya gunakan untuk menimba ilmu. Selain sebagai prasyarat dalam memasuki universitas pilihan saya, pengalama kerja yang relevan tentu akan sedikit banyak membuka wawasan saya akan apa yang akan saya pelajari.

Bicara tentang pembukaan wawasan, saya teringat akan jasa guru saya sewaktu di SMA. Sang guru merupakan orang yang bersahaja dan sangat memperhatikan pendidikan. Senang membaca, dan takut bila tidak ditanya oleh murid-muridnya. Beliau seringkali berseberangpandangan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah atas pendidikan dan sistem pendidikan di Indonesia. Tak jarang, saya sendiri memiliki pandangan yang berseberangan dengan Beliau. Atas jasa Beliau lah wawasan saya terbuka. Tidak pernah sebelumnya, saya memandang guru sebagai mitra. Selalu, guru bagi saya adalah dewa mahatahu yang tidak boleh digangg gugat pendapat dan ajarannya. Tapi guru yang satu ini lain.

Beliau selalu berkata, (dan saya mengutip) "Tanya lah, Sosodara!" Warna suaranya yang bak penyiar radio Sonora tersebut menyeberangi seisi kelas. "Gemuk saya, Sosodara, bila Anda tidak bertanya!" Lantas Beliau pun meneruskan dengan lembut, "Sosodara, orang tua Anda sekalian sudah bersusah payah mencari uang demi membiayai pendidikan Anda yang mahal ini. Jadi tolong, Sosodara, jangan biarkan kami (baca: para guru) makan gaji buta."

Terhenyaklah saya kala pertama kali mendengarkan seruan yang akan Beliau dengungkan tiap kali ada kesempatan. Betapa sempit pandangan saya akan guru-guru saya sebelumnya. Mulai dari saat itu, secara berkala, saya mulai mengubah cara pandang saya akan guru-guru saya. Oleh karenanya, bila ada di antara Para Pembaca Budiman yang menjadi dosen dan selalu terganggu dengan mahasiswa cerewet (baca: Yosua Mahardika Putra), salahkan lah guru saya.

Dengungan si Ibu begitu lekat dengan telinga anak-anaknya, sampai tak heran bila guru-guru baru harus tahan mental bila hendak masuk ke kelas-kelas kami. Akan habis lah guru-guru itu dimangsa oleh pertanyaan-pertanyaan kami. Bahkan, satu-dua guru sampai kehabisan kata-kata dan menangis keluar kelas karena tak tahu akan menjawab apa pada kami. Pihak sekolah tentu saja tak bisa menyalahkan kami. Kami berdiri di posisi yang benar.

Seperti Monalisa Smile? Kami tak separah itu la~. Cukup sampai membuat para guru kebat-kebit mengikuti perkembangan jaman saja. Cukup sampai membuat para guru harus memiliki posisi dan membangun opini sendiri di luar buku pelajaran atas isu-isu terhangat. Itu saja. Guru-guru kami yang berpengalaman kebanyakan berakhir menjadi orang-orang yang tak malu menunda jawaban di kesempatan bersua berikutnya. Sebagian yang lain adalah orang-orang perfeksionis yang simply tidak bisa melakukan kesalahan (atau berakhir ditertawakan seisi kelas dengan cara yang hangat dan menggoda).

Dengan cara demikian, tak sia-sia lah masa SMA kami. Tak sia-sia lah uang orang tua kami. Percaya tidak percaya, Para Pembaca Budiman, saya merasa kegiatan belajar mengajar seperti demikian justru mendekatkan kami dengan partner baru kami: para guru. Masa-masa belajar yang konstruktif dan efisien.

Dan oleh karena salah satu dosen favorit saya, saya semakin menghargai jasa para guru. Dosen tersebut berkata, "Pendidikan itu bukannya mahal..." lanjutnya, "Pendidikan itu kemewahan: lebih mahal dari mahal."

Atas masa-masa SMA, saya mereguk pendidikan dan bukan cuma pengajaran. Biar saya dibebani pekerjaan yang menumpuk saat-saat itu, saya berakhir dengan menertawakan masa-masa tersebut dengan guru-guru saya tiap kali saya bertandang ke sekolah lama. Menyenangkan.

Pada topik lain, Para Pembaca Budiman, akhir-akhir ini cuaca semakin dingin. Hujan semakin sering, dan angin semakin kencang. Saya tentu tidak berkeberatan sama sekali. Saya senang hujan (kan, saya ulang lagi pernyataan itu? Betapa saya mencintai cuaca akhir-akhir ini!).

Permasalahannya, cuaca hujan selalu membuat saya semakin malas. Maka, doakanlah saya, Sosodara, agar saya bisa kuat hati mengerjakan skripsi yang masih jauh dari selesai ini. Hehehe.

blogger templates | Make Money Online