Kamis, 01 April 2010

Nemba Lan Nitik


Bukan, Pembaca Budiman. Gambar di atas bukan gambar pendayagunaan tenaga kerja anak pada pabrik batik mana pun. Gambar tersebut bukan pula gambar anak-anak di jaman penjajahan kompeni dulu. Tetapi gambar di atas, diambil baru-baru ini di sekitar daerah Tanah Abang.


Anak-anak malang itu diseret guru-gurunya ke Museum Tekstil. Meski demikian, saya percaya kebanyakan dari mereka menikmati sekali kunjungan mereka kali itu. Betapa tidak? Alih-alih mendengar ceramah tak berkesudahan akan motif dan teknik batik tradisional, anak-anak justru dilibatkan langsung dalam proses pembuatan batik. Memang, prosesnya dibuat tak serumit yang biasa ditemukan di tanah Jawa. Namun, setidaknya, proses yang utama telah mereka lakukan: Nemba dan nitik. Segera setelah proses mbatik tersebut, kain-kain bergoreskan hasta karya anak-anak langsung dicelupkan ke dalam pewarna sintetis dan kemudian direbus untuk menghilangkan malam yang tadi ditorehkan ke atas kain. Hingga, jadilah si sapu tangan adibusana buatan tangan sendiri (baca: Hand-made Haute-couture Handkerchiefs) dengan motif avant garde yang dominan (baca: berantakan).

Sudah barang tentu, sebelum lokakarya dimulai, si anak diajak berkeliling gedung utama Museum Tekstil dengan panduan dan narasi dari petugas museum. *Bayangin kalo Anda jadi petugas museumnya: ribet ga tuh kudu ngejelasin motif dan teknik pembuatan kain ke sekumpulan anak-anak yang ribut berseliweran bak anak ayam yang tidak pernah mengenal induknya.* Pun demikian, anak-anak mana yang tak senang menggambar? Maka, begitu si pemandu melepas mereka untuk membatik, kontan saja mereka berebut tempat duduk dan langsung sok memegang canting.

Tak mau kalah, saya dan Rezon (Baca: Pria Malang Yang Harus Membonceng Gajah {saya} Seharian Hari Itu) tentu telah memulai membatik bahkan sebelum anak-anak itu datang. Namun apa mau dikata, antusiasme dan usia muda mereka mengalahkan kecepatan tangan kami (duile kayak yang udah umur 50 taon aja, Yos). Bisa aja begitu, mereka lebih cepat selesai dari kami berdua.

Maka, tatkala kami tengah mencuci sisa-sisa malam dan mengangkat hasil, beberapa dari mereka sudah bisa berkomentar tentang betapa jelek dan berantakannya karya saya dan betapa digdayanya hasil karya Rezon. *Ya iya lah! Si Rezon kan anak DKV! Gua getok juga ni bocah.* Ehm. Kembali ke topik semula. Saya tentu mengerti bila beberapa dari kita tidak mengetahui benar cara pembuatan batik. Saya sendiri baru benar-benar paham proses membatik baru-baru ini. Dan sebagai penulis yang bertanggung jawab, saya tentu berkewajiban untuk menolong Anda yang tidak tahu supaya tahu. Maka baca nih, kalo kagak tahu.

Proses batik yang asli sebenarnya lebih rumit dari proses yang sekarang. Proses sendiri dimulai ketika kain mori direbus dengan air kapur sirih supaya warna nantinya lebih melekat pada kain. Kain yang sudah direbus akan menyusut ukurannya setelah didinginkan sehingga perlu dipalu-palu dengan godam kayu. Meski demikian, modernisasi dan teknologi telah memungkinkan agar kedua proses ini ditiadakan. Berlawanan dengan pewarna alami, pewarna sintetis sekarang tidak memerlukan kedua proses tersebut.

Baru setelah kain siap, pola dilukis di atas kain. Usut punya usut, para ahli pembatik pada jaman dahulu tidak memerlukan proses ini. Pola sudah dihafal luar kepala dan membatik sama sekali dilakukan tanpa menggunakan pola. Bagi kita? cukuplah dengan menggambar pola dulu. Biar hasilnya jangan abstrak-abstrak amat lah. Baru setelah pola digambar, proses utama membatik dimulai. Batik ditulis dengan menggunakan malam (serupa lilin) yang dipanaskan hingga cair. Setelah cair, malam diciduk dengan menggunakan canting: pena lukis dari tembaga. Bukan sekali ciduk, tapi berkali-kali. Kenapa? Karena malam cepat sekali kering dan menyumbat mata canting hingga mampet. Katakan deh, Anda sudah selesai melukis tanpa cela. Anda masih harus berhadapan dengan proses pewarnaan.

Kain yang sudah dilukis kemudian diberi perekat warna dan dicelup ke pewarna tekstil. Bagian yang Anda beri malam tidak akan menyerap pewarna dan akan tetap berwarna putih. Sehingga, bila Anda menggambar bunga dengan malam dan mencelupkan kain ke warna merah, hasil yang diperoleh adalah bunga berwarna putih dengan latar belakang berwarna merah. Bagaimana kalau Anda berniat mewarnai warna putih tersebut? Anda perlu merebus kain yang sama (untuk meluruhkan lilin yang sudah mengering tadi) dan melapisi lagi bagian selain gambar bunga tersebut dengan malam serta mencelupkannya ke warna biru, misalnya. Sehingga diperoleh gambar akhir berupa bunga biru berlatar merah.


Nah, kebayang dong kalau warna batiknya bermacam-macam seperti motif batik pesisir begitu? Diperlukan berkali-kali pelapisan malam, berkali-kali pencelupan warna, dan berkali-kali perebusan kain untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Rumit. Tapi itulah seninya. Ga ada yang bilang kalau ngebatik itu bakal gampang kan?

Terbukti, hasil yang saya dapatkan sangat jauh dari kain batik yang profesional. Seperti yang bisa Anda saksikan di bawah. Senyum si Rezon lebih sumringah karena hasilnya tentu lebih rapi dan menawan. Betapa pun, Anda tak patut menghina saya. Setidaknya saya pernah membatik DAN ANDA BELUM! Maka buru-buru sono ke musium tekstil biar sah ngehina dina karya saya. (buat yang sudah, tabik saya berikan buat Anda).


Museum Tekstil
Seperti yang telah saya jelaskan di atas, acara batik membatik saya, Rezon, dan anak-anak SD St. Antonius (bukan, kami ga ikut-ikutan rombongan anak-anak SD itu kok) diselenggarakan di Museum tekstil. Museum ini memang mengadakan lokakarya membatik tiap harinya. Tiap peserta dikutip Rp35.000,- untuk mengganti biaya kain, malam, canting, dll. Gedung utama museum sendiri memamerkan koleksi-koleksi kain nusantara. Mulai dari batik tulis khas Yogya yang dominan berwarna latar putih sampai tandingannya dari Surakarta yang dominan berwarna cokelat. Mulai dari batik tulis Cirebon, sampai tenun ikat Sumatera Utara. Mulai dari kain berbahan katun, sampai kain berbahan benang emas. Mulai dari kain yang hanya digunakan oleh para petinggi kerajaan, sampai ke kain yang biasa digunakan semua orang di Baduy dalam.

Kompleksnya memang tak terlalu besar. Apalagi, museum ini memang kurang interaktif. Tapi, mengingat lokakaryanya sangat menarik. Boleh lah sekali-dua kali mampir ke sini. Apalagi bila Anda perlu menjamu tamu dari luar negeri, misalnya. Atau bila Anda tertarik sekali dengan batik, Anda bisa mengerjakan batik berukuran besar dengan harga Rp200.000,-.

Hal lain yang menarik dari museum ini adalah lantainya. Terdengar aneh mungkin, tapi lantai gedung utama dihiasi dengan motif-motif menyerupai permadani. Motif-motif ini saya tampilkan di gambar berikut:











Dan tidak lengkap bukan bila kita tidak menutup kunjungan kita dengan makan siang? Jauh sedikit dari Jl. K. S. Tubun tempat Museum Tekstil berada, saya bersantap siang di daerah permata hijau. Makan sop konro dan iga bakar Daeng Tata yang muaknyus. Buat Anda, saya siapkan dokumentasinya supaya Anda semua ngiler. Selamat ngiler!

Jumat, 26 Maret 2010

Pertanyaan Bagus

Saya senang diperhadapkan pada pertanyaan-pertanyaan ilmiah yang logis. Di saat-saat nganggur seperti ini, pertanyaan-pertanyaan ini memicu saya untuk berpikir keras dan mendorong saya untuk mencari tahu. Pertanyaan-pertanyaan ini bisa saja timbul dari pemikiran-pemikiran bodoh saya, pertanyaan-pertanyaan adik saya, atau--pada kasus-kasus tertentu--dari apa-apa yang saya baca. Beberapa pertanyaan memang berupa pertanyaan logika sederhana. Namun demikian, beberapa pertanyaan lainnya justru membutuhkan analisis dan studi pustaka yang mendalam (baca: nge-google). Tentu, pertanyaan-pertanyaan saya kebanyakan memang tidak akan berpengaruh banyak pada kehidupan saya (pertanyaan mengenai kebenaran teori evolusi Darwin, misalnya), namun saya tidak peduli. Toh, dengan pertanyaan-pertanyaan ini, saya satu langkah lebih jauh dari kepikunan dini.

Sehubungan dengan usaha saya menjauhi kepikunan dini tersebut pulalah saya sering ngaskus. Bak gayung bersambut, saya pun sering disuguhi banyak pertanyaan dan informasi yang menarik. Salah satu pertanyaan menarik yang saya temui di kaskusbeberapa jam yang lalu adalah pertanyaan ini. Pertanyaan ini menanyakan apa yang akan terjadi bila kita berpergian dengan pesawat yang bergerak berlawanan arah dengan rotasi bumi. Pertanyaan si penanya sebenarnya hanya berhenti pada apa yang terjadi pada waktunya. Saya lantas berpikir kalau si penanya hanya bertanya apa yang terjadi pada waktu yang kita alami.

Jawaban dari pertanyaan tersebut, tentu saja sangat sederhana. Karena
waktu perjalanan akan terus bertambah meskipun waktu lokal terus menunjukkan jam yang sama. Hal ini tentu terjadi karena kecepatan pesawat membuat waktu perjalanan dari satu zona waktu yang satu ke zona waktu yang lain menjadi tepat satu jam. Dan dengan asumsi dasar bahwa zona waktu awal dengan zona waktu yang selanjutnya berbeda satu jam, maka waktu perjalanan seakan menjadi 0 (tiap tambahan satu jam perjalanan, waktu lokal akan berkurang satu jam karena perbedaan zona waktu: +1 -1 = 0).

Namun pertanyaan yang lebih besar sebenarnya adalah apa yang akan terjadi pada penanggalan? Akankan kita tetap berada pada tanggal yang sama (karena jem di waktu lokal kan sama terus)? Kalau tanggalnya berubah, kapankah tanggalnya berubah? Nah kan jadi susah? Mikir deh lo, Sosodara!

Ok, here we go:

Berikut adalah diagram yang perlu diperhatikan. Di bawah bulatan-bulatan di bawah adalah penampang bumi bagian utara (kutub utara menghadap ke arah pembaca):


Nah, seperti yang Anda lihat, waktu lokal tetap sama di semua waktu. Meski demikian, begitu gambar keempat, pesawat berada pada tanggal yang berbeda. Pada gambar keempat dan kelima, pesawat sudah melewati garis penanggalan internasional (GMT +12 dan/atau GMT -12) sehingga tanggal pada waktu lokal sudah berbeda dari pertama kali berangkat meskipun waktunya tetap sama. Bila pada kolom-kolom berwarna hijau kita berangkat pada tanggal 1, maka pada kolom-kolom berwarna biru kita berada pada tanggal 2. Maka, meski waktu lokal tetap menunjukkan pukul 9:00 waktu lokal, tapi tanggal hari itu sudah berbeda.

Moral hari ini: "Jangan pernah menantang diri Anda untuk berpikir lebih jauh. Anda mungkin akan berakhir seperti saya (baca: menulis blog sampai jam 1 pagi).

Selasa, 16 Maret 2010

Food For The President?

Of many ways to encounter different cultures, food is a great way to do so. As a food enthusiast, I strive to keep my food preference to be open to many culture. Of course, by doing so, I may encounter one or two extreme unfamiliar occasions, but it's all worth the try. Such concept is seemingly well understood by the U.S. Embassy in Jakarta. As many of us expect the arrival of The 44th U.S. President, the embassy is holding a poll to decide which food is to be served to represent Indonesia.

Now, one may argue that the president has enough time to encounter our culture (and by that: our food as well), but I strongly believe that those years are arguably memorable enough. Ones must understand that the cultural experience the president had was merely based on his childhood experience. Yes, you may say that childhood memory is the strongest memory of all, but doesn't it also the weakest of all? Not to mention, the president spent more time on the other continent compared to his time in Indonesia. Thus, letting the people to choose what food to represent our culture might be a good idea after all.

To my foreigners friends, I bragged on how Indonesians are blessed with delicious exotic food. I understand that to many, our food is easily considered as strange. But, through series of well selected food, I proudly gained my friends acceptance towards Indonesian food. The key to win their heart (or shall I say: their bellies) is to choose the food that are traditional yet mildly flavored (i.e.: Soto Semarang). To those who are daring enough to encounter greater adventure, a strong favorite: Rendang is always a winner. NEVERTHELESS, one must carefully select the vendor. No matter how enthusiastically capable the foreigner is, I believe that a conservative less spicy rendang shall do the trick better than a regular hot rendang. This is due to the fact that ones may never be able to measure the other's tolerance upon hot stuffs.

In other words, boring is good. When boring is not good anymore, then you advance to a greater distance. However, no matter how great the distance is, I strongly recommend the hosts to draw a line. The host shall never cross several critical lines. No matter how good it is for us, durian is never an option for foreigners. Most of the time the scent are simply intolerable for them. Another line might call for avoidance upon petai and jengkol. Therefore, I believe that the host is fully responsible for a careful thought upon the selection of the menu. The host must always keep in his/her mind that generally accepted taste are more preferable than simply local favorite.

Even so, I believe that rendang is a perfect cultural representative of Indonesia. It is widely known and accessible throughout the nation and the distinctive flavor, on my experience, leave a strong image on Indonesian food for my foreigner friends. Rendang's ingredients are perfect to map out our geographic condition: heavy coconut milk as a result of miles of seashore, while mountainous areas ensure the generous amount of spice. Thus, I insists on introducing rendang as a part of our identity.

I understand that Indonesia is blessed with abundant variety of food and therefore it is always preferable to introduce this vast variety as much. However, considering the limited time the president has, I believe that the food that is going to be served shall instantly leave a deep impression upon Indonesian food. Towards this criteria, I believe that rendang shall serve as a good cultural ambassador for the time being.

Selamat makan, Pak Presiden!

Rabu, 17 Februari 2010

Every season is a good season for beautiful musics

For the past few hours I dwell in my memory and adoration towards John Rutter's works. So far, these memories are enough to put him as my favorite composer of the century. You might found that my knowledge upon other composers' works are limited and--by doing so--argue that I have not known enough composers to call for an objective judgment. Nevertheless, my fondness on his works are mostly based on my close (and in some particular numbers--practical) encounters.

The very memory of my practical encounters upon these numbers initiated me to listen to the songs on youtube. The decision to listen to these songs, however, was not a good idea. For instead of limiting my listening sessions to one or two songs, I ended up with listening to a never ending play-list of songs. Yes, up until I wrote this post to you, I am listening to his beautifully crafted works. God, save me. Somebody stop me, please. *sigh*

As most of you readers might have known, I am not a very religious person. So when I bear to listen a list of religious sacred songs, you simply know that the songs are extremely marvelous. That, or I am being strapped on an electrical chair and tortured to listen to bad church songs for my sins.

To give you an idea of the typical song I am listening to, I embed a video from youtube as follow:

blogger templates | Make Money Online